Uwaimir bin
Malik, atau lebih dikenal dengan nama kunyahnya Abu Darda adalah seorang
sahabat Anshar. Ia termasuk orang yang terakhir memeluk Islam dari kalangan kerabat
atau kabilahnya. Saudaranya, Abdullah bin Rawahah beberapa kali mendakwahinya
agar memeluk Islam, tetapi ia menolaknya. Abu Darda memiliki berhala dari kayu
yang diberi tutup kepala, berhalanya itu ditaruh di tempat yang agak tinggi di
dalam kamarnya.
Suatu ketika
Abdullah bin Rawahah melihat Abu Darda keluar dari rumahnya, maka ia mendatangi
rumahnya dan menemukan istrinya sedang menyisir rambut. Sang istri mengatakan
kalau Abu Darda sedang keluar, Abdullah langsung memasuki kamarnya dan
menurunkan berhala sembahan Abu Darda. Dengan gergaji yang telah
dipersiapkannya, Abdullah memotong-motong berhala itu hingga tidak karuan lagi
bentuknya.
Mendengar suara
gergaji di kamar suaminya, segera saja sang istri menghampirinya, dan langsung
berteriak kaget melihat apa yang dilakukan oleh Abdullah. Dengan menangis ia
berkata, "Apakah engkau ingin membinasakan aku, wahai Ibnu Rawahah?"
Tanpa berkata
apa-apa Abdullah bin Rawahah meninggalkan rumah Abu Darda dan membiarkan
istrinya menangis. Saat Abu Darda pulang dan melihat istrinya menangis, ia
menanyakan sebabnya. Istrinya berkata, "Tadi saudaramu, Abdullah bin
Rawahah datang dan memasuki kamarmu, lihatlah sendiri apa yang
dilakukannya…."
Setelah memasuki
kamarnya, Abu Darda pun marah besar, tetapi pada saat yang sama ternyata
hidayah Allah menyapanya. Akal sehatnya berkata, "Kalau saja berhala ini
memang mempunyai kekuatan dan kekuasaan, mengapa ia tidak mempertahankan
dirinya??"
Abu Darda menemui Abdullah bin Rawahah,
memintanya mengantar menemui Rasulullah SAW, dan ia bersyahadat, menyatakan
dirinya memeluk Islam.
Setelah
keislamannya, Abu Darda memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai
pedagang dan membaktikan hidupnya untuk membela Islam, sebagaimana kebanyakan
sahabat Anshar lainnya. Ia hidup dalam kezuhudan, yakni meninggalkan kesenangan
dunia. Jika tidak sedang berjuang di medan
jihad, ia akan menghabiskan waktu untuk menggali ilmu dari Nabi SAW, khususnya
yang berkaitan dengan mengelola hati dan mengendalikan hawa nafsu. Karena
itulah di kemudian hari Abu Darda dikenal sebagai sahabat ahli ilmu dan ahli hikmah.
Suatu ketika Uwaimir
atau Abu Darda ini memergoki istrinya sedang bersama lelaki lain. Walaupun ia
tidak melihat apa yang terjadi dan tidak ada seorang saksi yang melihat, tetapi
ia meyakini telah terjadi hubungan terlarang antara lelaki itu dan istrinya.
Karena itu ia datang kepada Ashim bin Adi, pimpinan Bani Ajlan meminta pendapat
tentang apa yang harus dilakukannya. Apakah ia harus membunuh lelaki tersebut,
yang akibatnya ia akan mendapat qishah dibunuh juga. Ashim tidak berani
menyarankan sesuatu sebelum bertanya kepada Nabi SAW.
Ketika Ashim
menemui Nabi SAW dengan membawa masalah tersebut, ternyata beliau mencelanya,
tanpa memberi jawaban, bahkan beliau cenderung membenci pertanyaan-pertanyaan
seperti itu, yang bernuansa syu'udzon. Dan ketika ia kembali kepada Uwaimir,
ia menyatakan bahwa
pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak memberikan kebaikan kepadanya, malah ia
dicela Nabi SAW.
Uwaimir
memutuskan untuk menanyakan sendiri permasalahannya tersebut kepada beliau. Ia menghadap
Nabi SAW, dan ternyata jeda waktu antara Ashim bin Adi dan ia menghadap, turun
wahyu untuk solusi permasalahannya tersebut. Beliau menyambutnya sambil bersabda,
"Allah telah menurunkan ayat Al Qur'an tentang engkau dan istrimu (Surah
an Nur ayat 6-10)"
Kemudian Nabi
SAW menyuruhnya menghadirkan istrinya, dan memerintahkan bersumpah dan melakukan
mula'anah (saling mengutuk) sesuai dengan petunjuk yang datang dalam Surah an
Nur ayat 6-10). Setelah ia dan istrinya
melakukan petunjuk dalam ayat tersebut, Uwaimir berkata, "Wahai
Rasulullah, jika saya menahan istriku, maka saya telah menzhaliminya…"
Beliau memahami
apa yang dikatakan Uwaimir, dan beliau mengijinkan ia menceraikan istrinya.
Setelah mereka berlalu, beliau bersabda kepada para sahabat yang hadir,
"Lihatlah, jika wanita itu melahirkan anak yang hitam, matanya lebar dan
amat hitam, besar pantatnya dan besar kedua betisnya, saya menduga Uwaimir telah
benar dengan tuduhannya (bahwa istrinya berzinah). Jika wanita itu melahirkan
anak yang kemerah-merahan seperti cecak, saya menduga Uwaimir telah berdusta
dengan tuduhannya."
Beberapa waktu
berlalu, dan ternyata wanita tersebut melahirkan seorang anak seperti yang
disifatkan beliau, yang membenarkan Abu Darda. Maka anak tersebut dinasabkan
kepada ibunya. Namun demikian, tidak ada penjelasan atau riwayat pasti yang
menyatakan Nabi SAW menjalankan rajam kepada istri Uwaimir dan lelaki yang
menzinahinya.
Dalam riwayat
lain disebutkan, turunnya Surah an Nur ayat 6-10 tersebut menyangkut sahabat
Hilal bin Umayyah dalam peristiwa yang hampir sama.
Abu Darda berusia
panjang sehingga menemui masa-masa kejayaan Islam di mana harta melimpah ruah
ke Madinah dan tempat-tempat lainnya. Namun demikian ia tetap hidup dalam
kezuhudan. Bahkan ia gencar mendakwahkan untuk menghindari kesenangan dan
kemewahan dunia, sebagaimana dilakukan oleh Abu Dzar. Hanya saja kalau Abu Dzar
bersikap keras, dengan menampilkan ancaman-ancaman bagi orang yang bergelimang
dengan keduniawiahan, Abu Darda lebih lembut. Ia lebih banyak menampilkan
keutamaan dan keindahan kehidupan akhirat, dan bahayanya tipuan dunia dan
kemewahannya. Kehidupan dunia hanyalah untuk mencari bekal dengan berbagai
macam ibadah dan dzikr, yang manfaatnya sangat besar dalam kehidupan akhirat
kelak.
Pada masa
khalifah Utsman bin Affan, Abu Darda ‘dipaksa’ untuk menjadi Qadhi (hakim) di
daerah Syiria, padahal ia sama sekali tidak menginginkan jabatan tersebut walau
pengetahuan dan keilmuannya mendukung. Yang menjadi gubernur Syiria saat itu
adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, yang hidup bergelimang harta dan kemewahan, dan
sangat sesuai dengan pola hidup masyarakatnya yang sejak di bawah Imperium
Romawi memang hidup dalam kelimpahan. Sungguh sangat kontras pola kehidupan dua
pejabat tersebut, yang dalam struktur pemerintahan Islam adalah setara. Tetapi
bagi Abu Darda hal itu dimanfaatkan untuk terus berjuang dan berdakwah,
membimbing umat untuk hidup seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Ketika di
kemudian hari Muawiyah menjadi khalifah, ia melamar putri Abu Darda untuk
dinikahkan dengan putranya, Yazid bin Muawiyah, yang juga telah diangkat
menjadi putra mahkota. Dengan keras ia menolak lamaran tersebut, kemewahan dan
tingginya jabatan Yazid tersebut sama sekali tidak membuatnya tergoda. Tidak
terlalu lama setelah itu, ia bertemu seorang pemuda muslim yang sangat miskin
tetapi saleh, Abu Darda menikahkan putrinya dengan pemuda tersebut. Melihat
sikapnya itu, dengan heran para sahabatnya berkata, “Bagaimana mungkin engkau
menolak putra khalifah sekaligus calon khalifah dan memilih seorang pemuda
miskin untuk menjadi suami putrimu??”
Dengan tenang
Abu Darda berkata, “Bagaimana kiranya si Abu Darda ini bila ia telah
dikelilingi para pelayan dan inang pengasuh, dan terpedaya oleh kemewahan
istana? Di mana letak agamanya saat itu??”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan