Sikap Mufti Perak yang memfatwakan satu fatwa tentang Penderhaka (Bughah) kepada peserta runtuh menjadikan udara Malaysia hangat, sebagiamana biasa Dato' Mufti sangat bersifat muyul (cenderung) kepada sesuatu pihak menjadikan beliau pejam mata sebelah dan celik mata sebelah. Ada yang patut difatwakan tetapi tidak difatwakan, yang tak sepatut difatwakan difatwakan. Peserta-peserta TURUN yang ramai turun ke Dataran Merdeka yang tanpa sejata, tanpa kekerasan dianggap sebagai BUGHOH dan halal darahnya. Seandainya kerajaan membunuh orang ramai disebabkan fatwanya ini, adakah Dato' Mufti akan bertanggungjawab menjelaskan tentang fatwanya di sisi Allah nanti di Padang Mahsyar? Article ini cuba memberikan sedikit makluman mengenai BUGHOH yang diketengahkan oleh Dato' Mufti untuk dilihat oleh umum.
MAKNA
DARI SUDUT BAHASA
Bughat بُغَاةٌ ) ( adalah
bentuk jamak اَلبَاغِيُ , yang
merupakan isim fail (kata benda yang menunjukkan pelaku), berasal
dari kataبَغى (fi’il madhi),يبْغِيُ (fi’il
mudhari’), danبُغْيَةً - بَغْيًا
بُغَاءً - (mashdar).
Kata بَغى mempunyai
banyak makna, antara lain طَلَبَ (mencari, menuntut), ظَلَمَ (berbuat zalim), إِعْتَدَى / تَجَاوَزُالْحَدَّ (melampaui
batas), dan كَذَبَ(berbohong) (Anis,
1972:64-65, Munawwir, 1984:65 & 106, Ali, 1998:341).
Dengan
demikian, secara bahasa, البَاغِيُ (dengan bentuk jamaknyaاَلْبُغَاةُ ) artinya اَلظَّالِمُ (orang yang berbuat zalim), اَلْمُعْتَدِيْ (orang yang melampaui batas), atau اَلظَّالِمُ
الْمُسْتَعْلِيْ (orang
yang berbuat zalim dan menyombongkan diri) (Ali, 1998:295, Anis, 1972:65).
MAKNA DARI SUDUT SYARA’
Dalam definisi syar’i –yaitu definisi menurut nash-nash Al-Qur`an dan
As-Sunnah– bughat memiliki beragam definisi dalam berbagai mazhab fiqih,
meskipun berdekatan maknanya atau ada unsur kesamaannya. Kadang para ulama
mendefinisikan bughat secara langsung, kadang mendefinisikan
tindakannya, yaitu al-baghy[u](pemberontakan).
Berikut ini definisi-definisi bughat yang dihimpun oleh Abdul Qadir Audah
(1996:673-674), dalam kitabnya التشريع الجنائي الإسلامي ) At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy), dan oleh Syekh
Ali Belhaj (1984:242-243), dalam kitabnya فصل الكلام في مواجهة ظلم الحكام (Fashl Al-Kalam fi Muwajahah Zhulm Al-Hukkam)
A.
PANDANGAN ULAMA HANAFIYAH
… البغي
… الخروج عن طاعة إمام الحق بغير حق , و الباغي … الخارج عن طاعة إمام
الحق بغير حق ( حاسية ابن عابدين ج: 3 ص: 426
– شرح فتح القدير ج: 4 ص: 48 )
“Al-Baghy[u]
(pemberontakan) adalah keluar dari ketaatan kepada imam (khalifah) yang haq
(sah) dengan tanpa [alasan] haq. Dan al-baaghi (bentuk tunggal bughat) adalah
orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang haq dengan tanpa haq.” (Hasyiyah
Ibnu Abidin, III/426; Syarah Fathul Qadir, IV/48).
B. MENURUT ULAMA’ MALIKYAH
… البغي … الإمتناع
عن طاعة من ثبتت إمامته في غير معصية بمغالبته ولو تأويلا …
( شرح
الزرقاني و حاشية الشيبان ص: 60)
“Al-Baghy[u]
adalah mencegah diri untuk mentaati orang yang telah sah menjadi imam
(khalifah) dalam perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik
(mughalabah) walaupun karena alasan ta`wil (penafsiran agama)…
Dan bughat adalah kelompok (firqah) dari kaum muslimin yang menyalahi
imam a’zham (khalifah) atau wakilnya, untuk mencegah hak (imam) yang wajib
mereka tunaikan, atau untuk menggantikannya.” (Hasyiyah Az-Zarqani wa
Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).
C. MENURUT ULAMA’ SYAFI’IAH
… البغاة … المسلمون
مخالفو الإمام بخروج عليه و ترك الانقياد له أو منع حق توجه عليهم بشرط شوكة لهم و تأويل و مطاع فيهم ( نهاية
المحتاج ج: 8 ص:
382 ؛ المهذب ج: 2 ص:
217 ؛ كفاية الأخيار ج: 2 ص: 197 – 198 ؛
فتح الوهاب ج: 2 ص: 153
)
“Bughat
adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya,
tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang seharusnya wajib mereka tunaikan
(kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan
pemimpin yang ditaati (muthaa’) dalam kelompok tersebut.” (Nihayatul
Muhtaj, VIII/382; Al-Muhadzdzab, II/217; Kifayatul Akhyar,
II/197-198; Fathul Wahhab, II/153).
… هم
الخارجون عن طاعة بتأويل فاسد لا يقطع بفساده إن كان لهم شوكة بكثرة أو قوة و فيهم
مطاع ( أسنى
المطالب ج: 4 ص: 111 )
“Bughat
adalah orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru),
yang tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan
(syaukah), karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara
mereka ada pemimpin yang ditaati.” (Asna Al-Mathalib, IV/111).
Jadi menurut ulama Syafi’iyah, bughat itu adalah pemberontakan dari
suatu kelompok orang (jama’ah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan pemimpin
yang ditaati (muthaa’), dengan ta`wil yang fasid (Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’
Al-Jina`i Al-Islamiy, II/674)
D. MENURUT ULAMA’ HANABILAH
… البغاة … الخارجون
عن إمام ولو غير عدل بتأويل سائغ و لهم شوكة ولو لم يكن فيهم مطاع ( شرح
المنتهى مع كشاف القناع ج: 4 ص: 114 )
“Bughat
adalah orang-orang memberontak kepada seorang imam –walaupun ia bukan imam yang
adil– dengan suatu ta`wil yang diperbolehkan (ta`wil sa`igh), mempunyai
kekuatan (syaukah), meskipun tidak mempunyai pemimpin yang ditaati di antara
mereka.” (Syarah Al-Muntaha ma’a Kasysyaf al-Qana’, IV/114).
E. MENURUT ULAMA’
ZHOHIRIYAH
… بأنهم
ينازعون الإمام العادل في حكمه فيأخذون الصدقات و يقيمون الحدود ( ابن
حزم , المحلى ج: 12 ص: 520
)
“Bughat
adalah mereka yang menentang imam yang adil dalam kekuasaannya, lalu mereka
mengambil harta zakat dan menjalankan hudud” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XII/520).
… البغي
هو الخروج على إمام حق بتأويل مخطىء في الدين أو الخروج لطلب الدنيا ( ابن
حزم , المحلى ج: 11 ص: 97
– 98 )
“Al-Baghy[u]
adalah memberontak kepada imam yang haq dengan suatu ta`wil yang salah dalam
agama, atau memberontak untuk mencari dunia.” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla,
XI/97-98).
F. MENURUT ULAMA’ SYI’AH
ZAIDIYAH
… الباغي … من
يظهر أنه محق و الإمام مبطل و حاربه أو غرم وله فئة أو منعة أو قام بما أمره
للإمام ( الروض
النضير ج: 4 ص: 331 )
“Bughat
adalah orang yang menampakkan diri bahwa mereka adalah kelompok yang haq sedang
imam adalah orang yang batil, mereka memerangi imam tersebut, atau menyita
hartanya, mereka mempunyai kelompok dan senjata, serta melaksanakan sesuatu
yang sebenarnya hak imam.” (Ar-Raudh An-Nadhir, IV/331).
DEFINIS YANG TERPILIH
(ROJIH)
Dari definisi-definisi tersebut, manakah definisi yang kuat (rajih)?
Untuk itu perlu dilakukan pengkajian yang teliti. Dengan meneliti
definisi-definisi di atas, nampak bahwa perbedaan yang ada disebabkan perbedaansyarat yang
harus terpenuhi agar sebuah kelompok itu dapat disebut bughat (‘Audah,
1996:674). Misalnya, menurut ulama Syafi’iyah, syarat bughat haruslah karena
ta`wil yang fasid, yaitu mempunyai penafsiran yang salah terhadap nash (Asna
Al-Mathalib, IV/111). Sementara ulama Zhahiriyah, syarat bughat bisa saja
karena ta`wil yang salah atau karena alasan duniawi, misalnya memperoleh harta
benda atau jabatan (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XI/97-98).
Sedangkan syarat itu sendiri, dalam ushul fiqih, maksudnya adalah syarat
syar’iyah, bukan syarat aqliyah (syarat menurut akal) atau syarat
‘aadiyah (syarat menurut adat) (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, I/186).
Jadi syarat itu sebenarnya merupakan hukum syara’ (bagian hukum wadh’i),
yang wajib bersandar kepada dalil syar’i, seperti wudhu –sebagai salah satu
syarat shalat– berdalil surah Al-Maidah ayat 6. Maka, untuk melihat definisi
yang rajih, atau untuk membuat definisi yang jami`an (mencakup
unsur-unsur yang harus ada dalam definisi) dan mani’an (mencegah
unsur-unsur yang tak boleh ada dalam definisi), kita harus melihat dalil-dalil
syar’i yang mendasari terbentuknya definisi bughat.
Dalil-dalil pembahasan bughat, adalah QS Al-Hujurat ayat 9 (Al-Maliki,
1990:79), dan juga hadits-hadits Nabi SAW tentang pemberontakan kepada imam
(khalifah). Di antara ulama ada yang mengumpulkan dalil-dalil hadits ini dalam
bab khusus, misalnya Imam Ash Shan’ani mengumpulkannya dalam bab Qitaal
Ahl Al-Baghiydalam kitabnya Subulus Salam III hal. 257-261. Abdul
Qadir Audah mengumpulkannya pada aliena (faqrah) ke-659 dalam An-Nushush
Al-Waridah fi Al-Baghiy dalam kitabnya At-Tasyri’ Al-Jina`i
Al-Islamiy (Audah, 1992:671-672). Di samping nash-nash syara’,
pendefinisian bughat juga dapat mempertimbangkan data tarikh (sejarah) shahabat
yang mengalami pemberontakan, seperti sejarah Khalifah Ali bi Abi Thalib dalam
Perang Shiffin dan Perang Jamal. Imam Asy-Syafi’i –rahimahullahu– berkata,”Saya
mengambil [hukum] tentang perang bughat dari Imam Ali radhiyallahu ‘anhu.”
(Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, 1999:310). Dalam hal ini
telah terdapat Ijma’ Shahabat mengenai wajibnya memerangi bughat
(Al-Anshari, t.t. :153; Al-Husaini, t.t.:197).
Dengan mengkaji nash-nash syara’ tersebut, dapat disimpulkan ada 3 (tiga)
syarat yang harus ada secara bersamaan pada sebuah kelompok yang dinamakan
bughat, yaitu :
- pemberontakan kepada khalifah/imam (al-khuruj ‘ala al-khalifah),
- adanya kekuatan yang dimiliki yang memungkinkan bughat untuk mampu melakukan dominasi (saytharah),
- mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya (Al-Maliki, 1990:79; Haikal, 1996:63).
Syarat pertama, adanya pemberontakan kepada khalifah (imam) (al-khuruuj
‘ala al-imam). Hal ini bisa terjadi misalnya dengan ketidaktaatan mereka kepada
khalifah atau menolak hak khalifah yang mestinya mereka tunaikan kepadanya,
semisal membayar zakat. Syarat pertama ini, memang tidak secara sorih (jelas)
disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :
وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ
بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ
إِلَى أَمْرِ اللَّهِ …
“Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat
aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali kepada perintah Allah …” (QS Al-Hujurat [49]:9)
Namun demikian, Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari (w.925 H) dalam Fathul
Wahhab (II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini memang tidak disebut
‘memberontak kepada imam’ secara sharih, akan tetapi ayat tersebut telah
mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat tersebut
menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas
golongan lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut
lagi.”
Jadi, dalil syarat pertama ini (memberontak kepada imam) adalah keumuman
ayat tersebut (QS 49:9). Selain itu, syarat ini ditunjukkan secara jelas oleh
hadits yang menjelaskan tercelanya tindakan memberontak kepada imam (al-khuruj
‘an tha’at al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :
… مَنْ
خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً
جَاهِلِيَّةً … ( روه مسلم عن أبي هريرة )
“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan
diri dari jamaah kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR.
Muslim No. 3436 dari Abu Hurairah).
Adapun yang dimaksud imam atau khalifah, bukanlah presiden atau raja atau
kepala negara lainnya dari negara yang bukan negara Islam (Daulah
Islamiyah/Khilafah). Abdul Qadir Audah menegaskan, “[Yang dimaksud] Imam,
adalah pemimpin tertinggi (kepala) dari Negara Islam (ra`is ad-dawlah
al-islamiyah al-a’la), atau orang yang mewakilinya…” (At-Tasyri’ Al-Jina`i
Al-Islamiy, Juz II hal. 676).
Hal tersebut didasarkan dari kenyataan bahwa ayat tentang bughat (QS
Al-Hujurat : 9) adalah ayat madaniyahyang berarti turun sesudah hijrah (As
Suyuthi, 1991:370). Berarti ayat ini turun dalam konteks sistem negara Islam
(Daulah Islamiyah), bukan dalam sistem yang lain. Hadits-hadits Nabi SAW dalam
masalah bughat, juga demikian halnya, yaitu berbicara dalam konteks
pemberontakan kepada khalifah, bukan yang lain (LihatSubulus Salam,
III/257-261). Demikian juga, pemberontakan dalam Perang Shiffin yang dipimpin
Muawiyah (golongan bughat) melawan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
yang sah, jelas dalam konteks Daulah Islamiyah (Lihat Al-Manawi, Faidh
Al-Qadir, II/336).
Dengan demikian, pemberontakan kepada kepala negara yang bukan khalifah,
misalnya kepada presiden dalam sistem republik, tidak dapat disebut bughat,
dari segi mana pun, menurut pengertian syar’i yang sahih.
Syarat kedua, mempunyai kekuatan yang memungkinkan kelompok
bughat untuk mampu melakukan dominasi. Kekuatan ini haruslah sedemikian rupa,
sehingga untuk mengajak golongan bughat ini kembali mentaati khalifah, khalifah
harus mengerahkan segala kesanggupannya, misalnya mengeluarkan dana besar,
menyiapkan pasukan, dan mempersiapkan perang (Kifayatul Akhyar, II/197).
Kekuatan di sini, sering diungkapkan oleh para fuqaha dengan istilah asy-syaukah,
sebab salah satu makna asy-syaukah adalah al-quwwah wa al-ba`s (keduanya
berarti kekuatan) (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 501). Para fuqaha Syafi’iyyah
menyatatakan bahwa asy-asyaukah ini bisa terwujud dengan adanya
jumlah orang yang banyak (al-katsrah) dan adanya kekuatan (al-quwwah), serta
adanya pemimpin yang ditaati (Asna Al-Mathalib, IV/111).
Syarat kedua ini, dalilnya antara lain dapat dipahami dari ayat tentang
bughat (QS Al Hujurat:9) pada lafazh وإِنْ
طَائِفَتَانِ (jika
dua golongan…). Sebab kata طَائِفَةٌ artinya
adalah اَلْجَمَاعَةُ (kelompok)
dan اَلْفِرْقَةُ (golongan) (Al-Mu’jamul
Wasith, hal. 571). Hal ini jelas mengisyaratkan adanya sekumpulan orang yang
bersatu, solid, dan akhirnya melahirkan kekuatan. Maka dari itu, Taqiyuddin
Al-Husaini dalam Kifayatul Akhyar (II/198) ketika membahas syarat
“kekuatan”, beliau mengatakan,”…jika (yang memberontak) itu adalah
individu-individu (afraadan), serta mudah mendisiplinkan mereka, maka mereka
itu bukanlah bughat.” Dengan demikian, jika ada yang memberontak kepada
khalifah, tetapi tidak mempunyai kekuatan, misalnya hanya dilakukan oleh satu
atau beberapa individu yang tidak membentuk kekuatan, maka ini tidak disebut
bughat.
Syarat ketiga, mengggunakan senjata untuk mewujudkan
tujuan-tujuannya. Para fuqaha mengungkapkan syarat penggunaan senjata dengan
istilah man’ah, atau terkadang juga dengan istilah asy-syaukah, karena asy-syaukah juga
bisa berati as-silaah (senjata). Man’ah(boleh dibaca mana’ah)
memiliki arti antara lain al-‘izz (kemuliaan), al-quwwah (kekuatan),
atau kekuatan yang dapat digunakan seseorang untuk menghalangi orang lain yang
bermaksud [buruk] kepadanya (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 888).
Dalil syarat ketiga terdapat dalam ayat tentang bughat (QS Al Hujurat :
9), yaitu pada lafazh اقْتَتَلُوا (kedua
golongan itu berperang). Ayat ini mengisyaratkan adanya sarana yang dituntut
dalam perang, yaitu senjata (as-silaah). Selain dalil ini, ada dalil lain
berupa hadits di mana Nabi SAW bersabda :
مَنْ
حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلاحَ فَلَيْسَ مِنّاَ ( متفق عليه عن ابن
عمر )
“Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah
golongan kami.” (Shahih Bukhari No. 6366, Shahih Muslim No. 143.
Lihat Bab Qitaal Ahl Al-Baghi, Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam,
III/257. Lihat juga hadits ini dalam Kitab Qitaal Ahl Al-Baghi, Imam
Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/217).
Dengan demikian, jika ada kelompok yang menentang dan tidak taat kepada
khalifah, tetapi tidak menggunakan senjata, misalnya hanya dengan kritikan atau
pernyataan, maka kelompok itu tak dapat disebut bughat.
Berdasarkan semua keterangan di atas, maka jelaslah bahwa definisi bughat
adalah kelompok yang padanya terpenuhi 3 (tiga) syarat secara bersamaan, yaitu
: (1) melakukan pemberontakan kepada khalifah/imam, (2) mempunyai kekuatan yang
memungkinkan bughat untuk mampu melakukan dominasi, dan (3) mengggunakan
senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya (Haikal, 1996:63).
Atas dasar syarat-syarat itulah, Syaikh Abdurrahman Al-Maliki, dalam
kitabnya Nizham Al-Uqubat, hal. 79, mendefinisikan bughat sebagai berikut
:
… هم
الذين خرجوا على الدولة الإسلامية , و لهم شوكة و منعة , أي
هم الذين شقوا عصا الطاعة على الدولة , و شهروا في وجهها السلاح , و
أعلنوا حربا عليها …
“Orang-orang yang memberontak kepada Daulah Islamiyah (Khilafah), yang
mempunyai kekuatan (syaukah) dan senjata (man’ah). Artinya, mereka adalah
orang-orang yang tidak mentaati negara, mengangkat senjata untuk menentang
negara, serta mengumumkan perang terhadap negara.” (Al-Maliki, 1990:79).
Lalu, bagaimana dengan syarat-syarat lain tentang bughat seperti adanya
ta`wil yang menjadi pendorong pemberontakan (pendapat ulama Syafi’iyyah), atau
syarat bahwa yang diberontak adalah imam yang adil (pendapat Ibnu Hazm) ?
Muhammad Khayr Haikal dalam Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah
Asy-Syar’iyyah(I/64) mengatakan bahwa ayat bughat (QS Al-Hujurat:9) tidak
menyebutkan syarat tersebut (ta`wil). Sebab, menurut beliau, kata تَبْغِيْ(golongan yang menganiaya) dalam ayat tersebut, bersifat mutlak,
tidak bersyarat (muqayyad) dengan adanya ta`wil yang masih dibolehkan (ta`wil
sa`igh). Maka, kemutlakan ayat tersebut tak membedakan apakah kelompok bughat
memberontak atas dasar ta`wil dalam paham agama, ataukah karena alasan duniawi,
seperti hendak memperoleh harta dan tahta.
Hal yang sama dapat juga dikatakan untuk syarat bahwa yang diberontak
adalah imam yang adil (pendapat Ibnu Hazm). Syarat ini tidak tepat, sebab ayat
bughat bersifat mutlak, tidak ada persyaratan bahwa bughat adalah yang
memberontak kepada imam yang adil. Selain itu, hadits-hadits Nabi SAW tentang bughat
juga bersifat mutlak (imam adil dan fasik), bukan muqayyad (hanya imam adil
saja). Karena itulah, pendapat yang lebih tepat (rajih) adalah apa yang yang
dinyatakan Syaikh Abdurrahman Al-Maliki :
… ولا
فرق في ذلك بين أن يخرجوا على خليفة عادل , أو خليفة ظالم , وسواء
خرجوا على تأويل في الدين , أو أرادوا لأنفسهم دنيا , فانهم
كلهم بغاة ما داموا شهروا السيف في وجه سلطان الإسلام .
”Tidak ada beda apakah [golongan bughat itu] memberontak kepada khalifah
yang adil atau khalifah yang zalim, baik karena alasan ta`wil dalam agama
maupun menghendaki dunia (seperti harta atau jabatan). Semuanya adalah bughat,
selama mereka mengangkat senjata untuk melawan kekuasaan Islam (sulthan
al-islam).” (Al-Maliki, 1990:79) [ ]
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Anshari, Zakariya. Tanpa Tahun. Fathul Wahhab. Juz II.
(Indonesia : Dar Ihya` Al-Kutub Al-Arabiyah).
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz
V. Cet. Ke-1. (Beirut : Darul Fikr).
Al-Husaini, Taqiyuddin. Tanpa Tahun. Kifayatul Akhyar. Juz
II. (Semarang : Mathba’ah Toha Putera).
Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-Uqubat. Cet.
Ke-2. (Beirut : Darul Ummah)
Ali, Attabik & Ahmad Zuhdi Muhdlor. 1998, Kamus
Kontemporer Arab Indonesia. Cet. Ke-3. (Yogyakarta : Yayasan Ali Maksum PP
Krapyak)
Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jamul Wasith. Cet. Ke-2.
(Kairo : Darul Ma’arif)
As-Suyuthi, Jalaluddin & Jalaludin Al-Mahalli. 1991. Tafsir
Al-Qur`an Al-Azhim (Al-Jalalain). Cetakan Ke-1. (Beirut : Darul Fikr).
Ash-Shan’ani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. (Bandung :
Maktabah Dahlan)
Asy-Syatibi, Imam. Tanpa Tahun. Al-Muwafaqat fi Ushul
Al-Ahkam. (Beirut : Darul Fikr).
Asy-Syirazi, Abu Ishaq. Tanpa Tahun. Al-Muhadzdzab. (Semarang
: Mathba’ah Toha Putera).
Audah, Abdul Qadir. 1996. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Cet.
Ke-11. (Beirut : Muassah Ar-Risalah)
Belhaj, Syaikh Ali. 1994. Fashl Al-Kalam fi Muwajahah Zhulm
Al-Hukkam. (Beirut : Darul ‘Uqab)
Haikal, Muhammad Khair. 1996. Al-Jihad wa Al-Qital fi
As-Siyasah Asy-Syar’iyah. Cet. Ke-2. (Beirut : Darul Bayariq)
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir. Cet.
Ke-1. (Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak).
Sumber: http://khilafah1924.org
Tiada ulasan:
Catat Ulasan