Jumaat, Oktober 16, 2015

DAKWAH KEPADA ALLAH, ANTARA SEMBUNYI DAN TERANG-TERANGAN


الدَّعْوَةُ إِلَى اللهِ بَيْنَ السِّرِّيَّةِ وَالْعَلاَنِيَّةِ وَالْاِسْتِدْلاَلِ لِذَلِكَ

Dakwah kepada Allah, antara sembunyi dan terang-terangan beserta dalilnya
Oleh: Ahmad Mifdlol Muthohar
(Kajian Dakwah pada 22 April 2012)
Sasaran Materi:
  1. Mengetahui berbagai argumen dakwah sirriyyah  wal ‘alaniyah
  2. Mengetahui berbagai praktek dakwah sirriyyah wal ‘alaniyah sepanjang sejarah, mulai dari nabi Nuh, Nabi Muhammad, sampai pada dakwah masa kontemporer, dengan mengkaji faktor-faktor yang melatar-belakanginya.
  3. Memiliki kemampuan analitik untuk menentukan pilihan antara sirriyyah wal ‘alaniyyah dalam tataran operasional.
PENJELASAN
Ketika berbicara tentang dakwah sirriyyah dan ‘alaniyyah dalam dakwah, maka ada dua konteks pengertian yang harus difahami: (1) Sebagai fase dakwah; (2) Sebagai sub fase dakwah tertentu.
Ketika Rasulullah s.a.w. berdakwah di Makkah pertama kali, sejarah mencatat bahwa model dakwah yang beliau lakukan adalah dengan cara sembunyi-sembunyi, yang hal itu berlangsung semenjak turunnya wahyu pertama kali hingga masuk Islamnya Umar bin Khaththab. Setelah Umar masuk Islam, maka fase dakwah berubah menjadi terang-terangan. Inilah yang disebut dengan “dakwah sirriyyah dan ‘alaniyyah sebagai fase dakwah”.

Sedangkan “dakwah sirriyyah dan ‘alaniyyah sebagai sub fase dakwah” dapat terjadi di semua fase dakwah. Ini lebih tepat dianggap sebagai strategi perjuangan dakwah. Misalnya adalah penugasan-penugasan yang diberikan Rasul s.a.w. kepada beberapa sahabatnya di fase dauly (setelah berdirinya Negara Madinah), untuk kepentingan dakwah, contoh Hudzaifah bin Yaman yang ditugasi menerobos barisan musuh secara sembunyi (sirriyyah) dan tidak perlu membuat kegaduhan di sana. Contoh lain adalah islamnya Abdullah bin Salam (tokoh Yahudi). Ada pula seorang sahabat yang menyembunyikan keislaman dari kaumnya, untuk melakukan misi adu domba agar mereka tidak menyerang umat Islam.

Strategi Dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam

Terlepas dari dua pengertian di atas, yang jelas dakwahsirriyyah dan ‘alaniyyah sesungguhnya adalah “strategi perjuangan” dalam berdakwah. Sejak zaman Nabi Nuh a.s. dakwah secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan juga sudah dilakukan beliau saat itu. Allah s.w.t. berfirman dalam QS. Nuh: 8-10:
ثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا.ثُمَّ إِنِّي أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا. فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (نوح: 8-10)
“Kemudian sesungguhnya Aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan.  Kemudian sesungguhnya Aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam.  Maka Aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya dia adalah Maha Pengampun.” (QS. Nuh: 8-10)

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi Nuh a.s. pada mulanya melakukan dakwah secara diam-diam, kemudian secara terang-terangan namun tidak juga berhasil. Dan terakhir kalinya Nabi Nuh a.s. melakukan kedua cara itu dengan sekaligus. Demikian perjuangan beliau yang tiada henti, berpikir dan sekaligus mempraktekkan segala bentuk strategi perjuangan dakwah semaksimal mungkin.

Strategi Dakwah Nabi Musa ‘alaihissalam             

Ternyata model perjuangan dakwah sembunyi-sembunyi juga dilakukan pada masa Nabi Musa a.s., hanya saja modelnya yang berbeda. Pada masa Nabi Musa a.s. pelaku dakwahsirriyyah bukanlah Nabi Musa a.s., namun sebagian kader dakwah yang memungkinkan posisinya. Ini sebenarnya adalah strategi yang dilakukan oleh Musa a.s. Setidak-tidaknya ada dua atau tiga orang pelaku dakwah sirriyyah, sebagaimana disebut dalam ayat berikut:
وَقَالَ رَجُلٌ مُؤْمِنٌ مِنْ آَلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ أَتَقْتُلُونَ رَجُلًا أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ وَقَدْ جَاءَكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ رَبِّكُمْ وَإِنْ يَكُ كَاذِبًا فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ وَإِنْ يَكُ صَادِقًا يُصِبْكُمْ بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ (غافر: 28)
“Dan seorang laki-laki yang beriman di antara keluarga Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata: “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki Karena dia menyatakan: “Tuhanku ialah Allah padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. dan jika ia seorang pendusta Maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu. Akan tetapi jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu”. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.” (QS. Ghafir: 28)
Dalam tafsir Ath-thabary disebutkan ada dua riwayat: Pertama, lelaki itu adalah anak paman Fir’aun; Kedua: Lelaki itu bernama Jibril (kerabat Fir’aun). Ibnu Abbas mengatakan bahwa tidak ada yang beriman dari keluarga Fir’aun kecuali dua, yaitu lelaki dalam ayat di atas dan isteri Fir’aun. Dalam ayat tersebut, lelaki dari keluarga Fir’aun itu memiliki peran “meminimalisir” kejahatan Fir’aun terhadap Musa dan Bani Israel, walaupun tidak jelas benar hasil lobinya.
Ada lagi dalam ayat lain tentang peran “lelaki tersembunyi” pada masa Musa a.s.:
وَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ يَسْعَى قَالَ يَا مُوسَى إِنَّ الْمَلَأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ (القصص: 20)
“Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: “Hai Musa, Sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang memberi nasehatkepadamu”.
Banyak riwayat mengatakan tentang siapa lelaki itu, salah satunya ada yang mengatakan dia bernama Syam’un. Sedangkan riwayat lain, sebagaimana disebutkan dalam tafsir Ath-Thabary, Qatadah mengatakan bahwa lelaki itu adalah lelaki mukmin dari keluarga Fir’aun. Lelaki tersebut berperan sebagai informan rahasia bagi Musa a.s.
Adapun peran isteri Fir’aun, Asiyah dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
وَقَالَتِ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ قُرَّةُ عَيْنٍ لِي وَلَكَ لَا تَقْتُلُوهُ عَسَى أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (القصص: 9)
“Dan berkatalah isteri Fir’aun (Asiyah): “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. janganlah kamu membunuhnya, Mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak”, sedang mereka tiada menyadari.” (QS. Al-Qashash: 9)
Imam Ath-Thabary menjelaskan tentang jawaban Fir’aun dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Abbas, bahwa setelah dikatakan oleh Asiyah bahwa bayi itu akan menjadi penyejuk mata hati baginya dan bagi Fir’aun, maka jawaban Fir’aun, “Itu penyejuk bagimu, adapun aku tidak memerlukannya.” Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda: Demi Dzat Yang digunakan sumpah (oleh makhluknya), seandainya Fir’aun mengakui Musa sebagai penyejuk baginya sebagaimana isterinya mengakui, sungguh Allah akan memberinya hidayah sebagaimana isterinya, namun Fir’aun mencegahnya.”
Sirriyyah Pada Masa Nabi Muhammad s.a.w.
Demikian pula Rasulullah s.a.w. juga melakukan model dakwah sembunyi dan terang-terangan. Firman Allah s.w.t.:
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ (الحجر: 94)
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr: 94)
Ayat ini mengandung makna bahwa sebelum turun ayat tersebut Rasulullah s.a.w. berdakwah secara sembunyi-sembunyi, dan itu berlangsung hingga 3 tahun, tepatnya sampai masuk Islamnya Umar bin Khaththab yang seiring dengan perintah dalam ayat di atas.
Adapun strategi lain yang pernah dicontohkan Rasul s.a.w. tentang dakwah sembunyi-sembunyi ini sebagai berikut:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا (النساء: 83)
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri (tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa’: 83)
Menurut sebagian Mufassirin, maksudnya ialah kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan ulil Amri, tentulah Rasul dan ulil amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istinbat) dari berita itu.
Pilihan Sirriyyah dan ‘Alaniyyah di Era Sekarang
Hingga era saat ini sirriyyah dan ‘alaniyyah tetap merupakan strategi yang ampuh dan digunakan olehh para aktifis dakwah. Perwakilan IDB untuk Indonesia, Dr. Mahlani,  pernah mengatakan bahwa setiap strategi dan program-program IDB untuk umat Islam di seluruh dunia, wajib hukumnya untuk kami rahasiakan. Demikian ungkap Mahlani dalam forum pertemuan ilmiah di Salatiga, pada akhir tahun 2011 lalu.
Undang-Undang lokal maupun kode etik internasional terkadang juga memaksa umat Islam di era kontemporer untuk menentukan garis perjuangan, baik sembunyi atau terang-terangan. Semua itu harus menjadi kesadaran mendalam para dai, untuk kemudian diputuskan langkah yang tepat dalam menyukseskan dakwah. Try and Error tentu adalah sesuatu yang biasa. Yang tidak biasa bagi kader dakwah adalah ketika ia tidak pernah/tidak mau “try” sehingga tidak pernah “error” tindakannya. Padahal sesungguhnya yang tidak pernah/tidak mau “try”melalui aktifitas fisik, yang “error” memang “bukan tindakannya”, namun seringkali “hatinya yang error.” Wallahu A’lam Bish-shawab.

Tiada ulasan: