Jumaat, Jun 12, 2015

KHAUZ DAN KIRMAN DAN KAITAN DENGAN IRAQ



Menguak Misteri Bani Qanthura, Benarkah mereka Koalisi Amerika-Eropa yang menggempur negeri 1001 malam ?

Salah satu riwayat ‘ajaib’ tentang nasib Iraq di akhir zaman adalah riwayat tentang invasi Bani Qanthura terhadap Iraq. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw menjelaskan bahwa di akhir zaman nanti akan terjadi penyerbuan bangsa Qanthura’ terhadap Bashrah, sebuah negeri kaum muslimin yang berada di tepi sungai Dajlah (Tigris hari ini). Dalam peperangan tersebut umat Islam berhasil mengalahkan bangsa Qanthura’.
Dari Abu Bakrah bahwasanya Rasulullah telah bersabda:
يَنْزِلُ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي بِغَائِطٍ يُسَمُّونَهُ الْبَصْرَةَ عِنْدَ نَهْرٍ يُقَالُ لَهُ دِجْلَةُ يَكُونُ عَلَيْهِ جِسْرٌ يَكْثُرُ أَهْلُهَا وَتَكُونُ مِنْ أَمْصَارِ الْمُهَاجِرِينَ قَالَ ابْنُ يَحْيَى قَالَ أَبُو مَعْمَرٍ وَتَكُونُ مِنْ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ. فَإِذَا كَانَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ جَاءَ بَنُو قَنْطُورَاءَ عِرَاضُ الْوُجُوهِ صِغَارُ الْأَعْيُنِ حَتَّى يَنْزِلُوا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ فَيَتَفَرَّقُ أَهْلُهَا ثَلَاثَ فِرَقٍ فِرْقَةٌ يَأْخُذُونَ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَالْبَرِّيَّةِ وَهَلَكُوا وَفِرْقَةٌ يَأْخُذُونَ لِأَنْفُسِهِمْ وَكَفَرُوا وَفِرْقَةٌ يَجْعَلُونَ ذَرَارِيَّهُمْ خَلْفَ ظُهُورِهِمْ وَيُقَاتِلُونَهُمْ وَهُمْ الشُّهَدَاءُ
“Akan ada segolongan kaum dari umatku yang menetap di sebuah daerah yang mereka namakan Bashrah, di sisi sebuah sungai yang disebut Dijlah (Dajlah), dan di atas sungai itu ada sebuah jembatan. Penduduk daerah itu akan bertambah banyak, dan ia akan menjadi salah satu negeri dari negeri-negeri orang-orang yang berhijrah. [Perawi Muhammad ibnu Yahya berkata: Abu Ma’mar meriwayatkan dengan mengatakan: negeri-negeri kaum muslimin].

Kelak di akhir zaman Bani Qanthura’ yang berwajah lebar dan bermata sipit akan datang menyerbu, sehingga mereka mencapai tepian sungai Dajlah. Pada saat itulah penduduk daerah itu akan terpecah menjadi tiga kelompok. Satu kelompok mengikuti ekor sapi (menuntun binatang mereka) dan menyelamatkan diri ke pedalaman, Mereka akan binasa. Satu kelompok lainnya memilih menyelamatkan dirinya dengan jalan memilih kekafiran. Adapun kelompok terakhir menempatkan keluarganya di belakang punggung mereka dan bertempur melawan musuh. Mereka itulah orang-orang yang akan mati syahid.”[1]
 
Dalam lafal yang lain diterangkan bahwa sisa-sisa kelompok umat Islam yang berperang ini akan mampu mengalahkan Bani Qanthura’:
فَيَتَفَرَّقُ الْمُسْلِمُونَ ثَلَاثَ فِرَقٍ فَأَمَّا فِرْقَةٌ فَيَأْخُذُونَ بِأَذْنَابِ الْإِبِلِ وَتَلْحَقُ بِالْبَادِيَةِ وَهَلَكَتْ وَأَمَّا فِرْقَةٌ فَتَأْخُذُ عَلَى أَنْفُسِهَا فَكَفَرَتْ فَهَذِهِ وَتِلْكَ سَوَاءٌ وَأَمَّا فِرْقَةٌ فَيَجْعَلُونَ عِيَالَهُمْ خَلْفَ ظُهُورِهِمْ وَيُقَاتِلُونَ فَقَتْلَاهُمْ شُهَدَاءُ وَيَفْتَحُ اللَّهُ عَلَى بَقِيَّتِهَا.
“Adapun satu kelompok yang terakhir menempatkan keluarganya di belakang punggung mereka dan mereka maju berperang menyongsong musuh. Orang-orang yang terbunuh di antara mereka adalah orang-orang yang mati syahid, dan Allah akan melimpahkan kemenangan kepada mereka melalui orang-orang yang tersisa.”[2]

Inikah bani Qanthura yang akan menggempur Bashrah ?
Bashrah adalah sebuah kota yang dibangun oleh sahabat ‘Utbah bin Ghazwan pada masa penaklukkan Persia di zaman pemerintahan khalifah Umar bin Khatab. Imam Syamsul Haq ‘Azhim Abadi mengutip penjelasan imam al-Asyraf bahwa yang dimaksud dengan Bashrah dalam hadits ini adalah Baghdad yang mendapat julukan negeri kedamaian (madinat al-salam). Alasannya, Dajlah adalah sebuah sungai, sementara jembatan Dajlah tersebut berada di tengah (atas) sungai Dajlah, bukan di tengah kota Bashrah sendiri.

Nabi menyebutkan daerah tersebut dengan nama Bashrah, mengingat di luar kota Baghdad —tepatnya di dekat pintu gerbang masuk kota Baghdad— terdapat sebuah tempat yang disebut Bab Bashrah, pintu gerbang Bashrah. Jadi Nabi menunjuk kota Baghdad dengan menyebutkan satu bagian darinya. Beliau menyebut nama Basrah, namun yang beliau maksudkan adalah Bab Bashrah, pintu gerbang Bashrah.

Pada masa Nabi, Baghdad belumlah berwujud seperti keadaannya hari ini. Bahkan nama Baghdad sendiri juga belum ada. Saat itu ia tak lebih dari sebuah daerah pedalaman dalam kekuasaan imperium Persia yang begitu luas.[3] Oleh karenanya dalam hadits ini Rasulullah n menyebutkan bahwa pada masa yang akan datang ia akan menjadi salah satu negeri kaum muslimin. “…dan ia akan menjadi salah satu negeri dari negeri-negeri kaum muhajirin (dalam riwayat Abu Ma’mar: negeri-negeri kaum muslimin).”demikian sabda beliau.[4]
Siapa Sebenarnya Bani Qanthura’?
Hadits di atas menjelaskan dua ciri fisik Bani Qanthura’, yaitu wajah yang lebar dan mata yang sipit. Apabila dua sifat fisik ini dikaitkan dengan hadits-hadits shahih lainnya yang menjelaskan identitas bangsa yang mempunyai ciri-ciri fisik serupa, akan nampak jelas bahwa yang dimaksud dengan Bani Qanthura’ dalam hadits ini adakah bangsa Turk. Hadits-hadits shahih yang menerangkan hal ini, antara lain adalah:
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah n bersabda,
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ التُّرْكَ قَوْمًا وُجُوهُهُمْ كَالْمَجَانِّ الْمُطْرَقَةِ يَلْبَسُونَ الشَّعَرَ وَيَمْشُونَ فِي الشَّعَرِ
“Kiamat tidak akan terjadi sehingga kaum muslimin berperang melawan bangsa Turk, yaitu sebuah kaum yang wajah mereka bagaikan perisai yang berlapis, mereka memakai pakaian yang terbuat dari bulu, dan memakai alas kaki yang juga terbuat dari bulu.”[5]

Hadits di atas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bani Qanthura’ adalah bangsa Turk. Imam al-Bukhari sendiri menempatkan hadits shahih ini dalam bab “Qital al-Turk”, perang melawan bangsa Turk. Begitu pula imam Ahmad, Abu Daud, Abu Bakr bin Syaibah, dan para ulama lain menempatkan hadits tentang Bani Qanthura’ di atas dalam kumpulan hadits yang membahas perang umat Islam melawan bangsa Turk. Salah seorang perawi dalam riwayat Ahmad, yaitu al-‘Awwam bin Hausyab dengan tegas menyimpulkan hal ini.

Bangsa Turk yang dimaksudkan dalam hadits ini, wallahu a’lam bi-shawab, tidak terbatas pada penduduk sebuah negera yang kini dikenal dengan nama internasional Republik Turki semata. Sekalipun Republik Turki hari ini adalah sebuah negara sekuler yang didirikan oleh Musthafa Kamal Al-Yahudi, namun mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin. Padahal hadits-hadits shahih di atas menyebutkan bahwa bangsa Turk yang memerangi kaum muslimin di akhir zaman adalah orang-orang kafir.

Dalam menjelaskan tentang pasukan yang akan menyertai Dajjal, al Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan bahwa “Menurut lahirnya -wallahu a’lam- yang dimaksud dengan Tark itu adalah pembantu-pembantu Dajjal.”[6]. Hal ini juga dikuatkan dengan riwayat lain dari Abu Hurairah: “Tidaklah datang kiamat sehingga kamu memerangi bangsa Khauz dan Kirman dari orang-orang Ajam yang wajahnya merah, hidungnya pipih (pesek), ma­tanya sipit, wajahnya seperti tembaga, dan sepatunya beludru.“[7].

 Penjelasan di atas menyebutkan bahwa kelak bangsa Turk atau bani Qanthura juga termasuk yang akan bergabung dengan pasukan Dajjal di akhir zaman. Ini semakin menguatkan bahwa Bani Qanthura atau bangsa Turk bukanlah penduduk Turki hari ini yang mayoritas beragama Islam. Bila mereka termasuk pembantu setia Dajjal, maka kedekatan mereka dengan Yahudi secara ideologi dan kebangsaan juga semakin meyakinkan.

Jika mereka bukan penduduk negara yang hari ini dikenal dengan nama Republik Turki ini, lantas siapa gerangan bangsa Turk yang akan memerangi kaum muslimin di akhir zaman tersebut ?

Penjelasan yang lebih benar dan logis adalah pendapat para ulama yang menyatakan bahwa bangsa Turk adalah sebuah nama bagi bangsa manapun yang memenuhi ciri-ciri yang digambarkan dalam hadits di atas. Selain wajah lebar-tebal seperti perisai berlapis, wajah kemerah-merahan, hidung yang pesek, dan mata yang sipit, hadits-hadits di atas masih menyebutkan dua sifat lain yang bisa menunjukkan jatidiri bangsa yang dimaksud. Kedua ciri tersebut adalah memakai pakaian yang terbuat dari bulu dan memakai alas kaki yang juga terbuat dari bulu.

Imam Syamsul Haq ‘Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud menulis bahwa riwayat imam Muslim dengan lafal ‘mereka memakai pakaian yang terbuat dari bulu, dan memakai alas kaki yang juga terbuat dari bulu’ secara tegas menunjukkan bahwa pakaian mereka terbuat dari bulu, demikian pula halnya dengan alas kaki (sandal dan sepatu) mereka. Sebagaimana dikatakan oleh imam Ibnu Dihyah dan para ulama yang lain, model pakaian seperti ini disesuaikan dengan iklim lingkungan tempat mereka tinggal. Mereka tinggal di daerah-daerah yang diselimuti oleh salju-salju yang sangat tebal.

Selain ciri-ciri fisik dan geografis sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits-hadits di atas, bangsa Turk adalah bangsa yang disatukan oleh bahasa induk yang sama, yaitu Bahasa Altaic. Bahasa Altaic adalah induk bahasa-bahasa yang dipergunakan di kawasan yang luas di Eurasia, sejak dari Turki di Barat sampai ke Laut Okhotsk di Timur. Mayoritas pakar bahasa menjelaskan bahwa rumpun bahasa Altaic terdiri dari tiga kelompok bahasa cabang; bahasa Turki, bahasa Mongolia, dan bahasa Tungusi. Sebagian pakar bahasa menyebutkan bahwa yang termasuk ke dalam rumpun bahasa Altaic adalah bahasa Korea, bahasa Jepang, dan adakalanya bahasa Ainu, bahasa yang digunakan oleh sejumlah kecil masyarakat di Jepang bagian Utara.

Dari penjelasan ini, tentu tidak lagi mengejutkan kita apabila para ulama menyebutkan bahwa negeri yang didiami oleh bangsa Turk merupakan sebuah negeri yang sangat luas, dinisbahkan kepada nama bangsanya, negeri Turkistan. Wilayahnya membentang dari negeri Khurasan bagian Timur hingga negeri Cina bagian Barat, dan melintang dari daerah utara India hingga mencapai ujung dunia (kutub utara).[8]
 
Secara nash syar’i tidak ada dalil yang shahih yang bisa dijadikan dasar untuk menentukan pendapat mana yang lebih benar. Pun secara sejarah sulit untuk membuktikan silsilah nasab sebuah bangsa besar yang telah berkembang, menyebar, dan mendiami sebuah kawasan bumi yang begitu luas, sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun sebelum masehi ini. Barangkali karena alasan ini pula, para pakar hadits dan sejarah sekaliber Ibnu Jarir al-Thabari, Ibnu Atsir al-Jazri, Yaqut al-Yamawi, Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan lain-lain tidak menyebutkan pendapat mana yang lebih kuat.

Dari berbagai hadits shahih yang menyebutkan ciri-ciri fisik dan kondisi geografis negeri bangsa besar Turk ini, setidaknya para pakar hadits dan sejarah telah bisa meraba-raba suku bangsa dan negeri mana saja yang tergolong dalam keluarga besar bangsa dan negeri Turk. Sekali lagi, pendapat mereka adalah berdasar ijtihad dan hipotesa semata, sehingga kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat sangatlah terbuka.

Kemenangan yang Sulit
Sepanjang sejarah, umat Islam telah merasakan pahit getirnya keganasan bangsa Turk. Bangsa Mongol pernah menyerbu negeri-negeri kaum muslimin di Asia Tengah dan Asia Barat hingga mencapai Baghdad dan meruntuhkan khilafah ‘Abbasiyah, membunuh penduduk sipil, membumihanguskan seluruh bangunan, dan meninggalkan negeri-negeri tersebut bak kota mati yang sunyi, hancur, dan penuh dengan bangkai manusia yang menyebarkan bau busuk dan wabah penyakit.

Di akhir zaman bangsa Turk kembali mengincar sebuah negeri penting kaum muslimin yang berada di tepi sungai Dajlah, bernama Bashrah (baca:Baghdad). Pada masa itu Bashrah merupakan sebuah negeri umat Islam yang sangat strategis. Rasulullah n sendiri menjelaskan bahwa Bashrah pada saat itu akan menjadi salah satu negeri tujuan hijrah kaum muslimin.
يَكْثُرُ أَهْلُهَا وَتَكُونُ مِنْ أَمْصَارِ الْمُهَاجِرِينَ – قَالَ أَبُو مَعْمَرٍ: وَتَكُونُ مِنْ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ-
Penduduk negeri itu akan bertambah banyak, dan ia akan menjadi salah satu negeri dari negeri-negeri kaum muhajirin [atau negeri-negeri kaum muslimin].

Ketika Mereka Terpecah menjadi Tiga Golongan
Saat menghadapi musuh yang sangat kuat dan melakukan serangan mendadak ini, umat Islam akan terpecah menjadi tiga golongan:
Pertama, golongan yang lebih mengutamakan keselamatan nyawa, keluarga, dan harta kekayaannya atas keselamatan agama. Mereka akan melarikan diri ke pedalaman dengan membawa seluruh harta kekayaan yang mampu mereka bawa, utamanya hewan ternak. Mereka justru akan menemui kebinasaan di daerah-daerah pedalaman.

Kedua, golongan hipokrit-munafik yang membeo kepada pihak yang berada di atas angin. Mereka adalah golongan yang menjalankan agama dengan perhitungan untung-rugi. Di satu sisi mereka melihat perjuangan membela Islam dan kaum muslimin akan membawa resiko bagi nyawa, harta, dan keluarga. Di sisi lain, bergabung dengan barisan bani Qanthura’ merupakan jalan pintas untuk meraih keselematan dan keuntungan. Mereka pun akhirnya menanggalkan keislaman mereka, memilih kekafiran, meminta jaminan keamanan kepada musuh, dan bergabung dalam barisannya.

Ketiga, golongan pejuang yang rela mempersembahkan harta dan nyawa mereka demi tegaknya panji Islam dan selamatnya anak keturunan kaum muslimin. Kedatangan musuh yang sangat tiba-tiba dengan kekuatan dahsyatnya, plus kabur dan murtadnya dua pertiga umat Islam tidak menyiutkan nyali mereka. Justru mereka meyakininya sebagai kebenaran janji Allah dan Rasul-Nya. 

Mereka menempatkan seluruh anak-istri di belakang punggung mereka. Mereka bertempur dengan gigih berani, menahan laju gempuran pasukan bani Qanthura’. Di antara mereka akan banyak yang gugur sebagai syuhada’. Dengan izin Allah kaum muslimin yang tersisa akan mampu meraih kemenangan dan menghancurkan musuh.[9]

Bilakah Hal Itu Terjadi?
Imam Ali Mula al-Qari berpendapat bahwa peristiwa penyerbuan bani Qanthura’ ke Bashrah ini sudah terjadi pada bulan Shafar tahun 656 H. Untuk bisa menentukan kebenaran atau kesalahan pendapat ini, kita perlu melihat terlebih dahulu kronologi penyerbuan tentara Mongol ke kota Baghdad tahun 656 H. Setelah itu barulah kita bisa membandingkannya dengan hadits-hadits tentang bani Qanthura’.
[1]. HR. Abu Daud: Kitab al-malahim bab fi al-Bashrah no. 3752, Ahmad, Musadad, Abu Daud al-Thayalisi, dan Ibnu Hiban. Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini hasan dan sanadnya baik dalam Shahih Sunan Abi Daud, Misykat al-Mashabih: Kitab al-fitan no. 5432, dan Shahih al-Jami’ al-Shaghir no. 8107.

[2]. HR. Ahmad, Abu Daud al-Thayalisi, Ahmad bin Mani’, dan Abu Bakr bin Syaibah Al-hafizh al-Bushairi dalam Ittihaf al-Khairah al-Maharah bi-Zawaid al-Masanid al-‘Asyrah menyatakan para perawinya tsiqah.
[3]. Kota Baghdad dibangun oleh khalifah kedua dari dinasti Abbasiyah, yaitu amirul mukminin Abu Ja’far al-Manshur pada tahun 146 H/763 M.
[4]. ‘Aunul Mabud Syarh Sunan Abi Daud juz 9 h.. 344. Imam Ali Mula al-Qari juga memberikan penjelasan yang serupa dengan penjelasan imam al-Asyraf. Imam Syamsul Haq ‘Azhim Abadi mengutip penjelasan kedua ulama ini tanpa memberikan sanggahan. Wallahu a’lam, mungkin ini menunjukkan persetujuan beliau atas penjelasan kedua ulama ini.
[5]. HR. Bukhari: Kitab al-jihad wa al-siyar no. 2711, Muslim: Kitab al-fitan wa asyrath al-sa’ah no. 2912, dan Abu Daud: Kitab al-malahim no. 3749, dengan lafal Muslim.
[6] An-Nihayah Fil Fitan wal Malahim 1: 117
[7] Shahih Bu­khari, Kitab Al-Manaqib, Bab ‘Alamatin Nubuwwah Fil Islam 6: 604
[8]. Lihat Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 10/393 dan Mu’jam al-Buldan 1/409-410.
[9]. Perpecahan umat Islam Bashrah menjadi tiga kelompok saat menghadapi serangan bani Qanthura’ di akhir zaman ini, juga digambarkan oleh Ibnu Taimiyah saat menerangkan kondisi kaum muslimin di Syam saat mendengar berita penyerbuan tentara Mongol ke Damaskus tahun 702 H. 

Dalam Majmu’ Fatawa, 28/416-417, beliau menuturkan, “Dalam menghadapi fitnah (penyerangan tentara Mongol) ini, masyarakat terpecah menjadi tiga golongan: Ath-Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang mendapatkan kemenangan) yaitu kelompok yang berjihad melawan para penyerang yang berbuat kerusakan, Ath-Thaifah Al-Mukhalifah (kelompok musuh) yaitu kaum agresor dan ‘sampah-sampah’ kaum muslimin yang bergabung ke dalam barisan mereka, dan Ath-Thaifah Al-Mukhadzilah (kelompok yang melemahkan semangat) yaitu umat Islam yang hanya berpangku tangan dan enggan berjuang melawan musuh, sekalipun ke-Islaman mereka benar (tidak murtad dengan memihak musuh)

Tiada ulasan: