Article ini adalah article copy n paste, semoga Allah memberikan pahala yang banyak kepada penulisnya. Saya baiki sedikit mengikut kemampuan.
Seringkali kita
mendengar orang menyebut beristighfar, kadang-kadang juga disebut bertaubat. Adakah
di sana perbedaan antara istighfar dan taubat? Apakah ketika seseorang itu beristighfar
serta merta dianggap juga sebagai sedang bertaubat?
Dua istilah
yang tampak sama ini, ternyata pada hakikatnya terdapat perbedaan. Berikut
perbedaannya :
Pertama :
Taubat ada
batas waktunya, sementara istighfar tidak ada batas waktunya.
Oleh karenanya
sampai orang yang sudah meninggal masih boleh dimohonkan ampunan. Adapun taubat
tak diterima ketika nyawa seorang sampai pada kerongkongan. Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam bersabda seperti berikut :
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ.
“Sesungguhnya
Allah menerima taubat seorang hamba, selama (ruh) belum sampai di tenggorokan”
(HR. Tirmidzi, dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma).
Oleh karenanya
seorang yang telah meninggal dunia tidak ditaubatkan, namun mungkin baginya
untuk dimohonkan ampunan atau didoakan istighfar. Sebagaimana firman Allah
‘azza wa jalla,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ
بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا
بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa:
“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hashr :10).
Kedua :
Taubat hanya boleh
dilakukan oleh pelaku dosa itu sendiri, adapaun istighfar boleh dipohon oleh
pelaku dosa serta juga orang lain untuknya.
Oleh karenanya
seorang anak boleh mendoakan isighfar untuk ayahnya, atau seorang sahabat
kepada sahabatnya yang lain, namun tidak boleh dikatakan seorang anak men-taubatkan
bapaknya atau seorang rakan mentaubatkan kawannya.
Taubat memiliki
syarat harus berhenti dari dosa yang ditaubati. Adapun istighfar tidak
disyaratkan demikian.
Oleh karenanya
ada suatu masalah penting yang dikaji oleh para ulama berkaitan hal ini, yakni
apakah istighfar bermanfaat tanpa taubat?
Maksudanya
apabila seorang beristighfar sementara ia masih terus melakukan maksiat, apakah
istighfar itu bermanfat? Misalnya seorang merokok dan ia mengakui bahwa rokok
itu haram, kemudian beristighfar, namun tidak berhenti dari merokok, apakah
istighfarnya tersebut dapat menghapus dosa merokok yang ia lakukan? Mengingat
salah satu syarat taubat adalah berlepas diri dari dosa yang ditaubati.
Para ulama
berselisih pendapat dalam hal ini :
Pendapat 1:
Istighfar tidak
bermanfaat tanpa taubat. Karena istighfar adalah jalan menuju taubat. Sehingga
apabila maksud tidak tercapai maka istighfar yang dilakukan menjadi sia-sia.
Maka menurut ulama yang memegang pendapat ini, istighfar yang dilakukan oleh
perokok pada isu di atas tidak bermanfaat.
Pendapat 2:
Istighfar
bermanfaat meski pelaku belum bertaubat. Karena dalam hadis-hadis Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam dibedakan antara istighfar dan taubat. Seperti
hadis berikut,
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ
فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً
“Demi Allah,
sungguh diriku beristighfar dan bertaubat dalam sehari lebih dari 70 kali”
(Muttafaqun’alaih).
Dalam riwayat
Muslim disebutkan, “… 100 kali“.
Pada hadis di
atas istighfar dan taubat disebutkan secara terpisah. Menunjukkan bahwa
istighfar dapat bermanfaat dengan sendirinya, meski tidak diiringi taubat.
Maka, menurut
para ulama yang memegang pendapat ini, istighfar yang dilakukan oleh perokok
pada isu di atas bermanfaat. Boleh jadi Allah mengijabahi permohonan ampunnya
meskipun ia belum bertaubat.
Keadaan Istighfar
Namun ada
kesimpulan yang sangat baik dari guru kami; Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili
-hafidzohullah- ketika mengkompromikan dua pendapat di atas. Beliau menjelaskan
bahwa istighfar ada dua keadaan :
Pertama :
Istighfar /
permohonan ampun untuk pelaku dosa yang dilakukan oleh orang lain.
Seperti
istighfarnya Malaikat untuk orang yang duduk di tempat sholat selama wudhunya
tidak batal, para Malaikat mendoakannya,
اللهم اغفرله اللهم ارحمه
“Ya Allah
ampunilah dan rahmatilah dia..” (HR. Bukhori dan Muslim, dari Abu Hurairah
–radhiyallahu’anhu-).
Atau istighfar
anak untuk orang tuanya,
رب اغفر لي ولوالدي وارحمهما كما ربياني صغيرا
“Ya Tuhanku
ampunilah aku dan kedua orangtuaku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka
telah menyayangiku di waktu kecil“.
Nabi juga
pernah memerintahkan para sahabat beliau ketika raja Najasi meninggal dunia,
untuk mendoakan ampunan untuknya,
استغفروا لأخيكم
“Doakanlah
istighfar untuk saudara kalian..” (HR. Bukhori dan Muslim).
Beliau juga
bersabda sesuai menguburkan salah seorang sahabat beliau,
استغفروا لأخيكم واسألوا له التثبيت فإنه الآن يسأل
“Doakan
istighfar untuk saudara kalian. Dan mohonkan untuknya ketetapan hati, karena
dia sekarang sedang ditanya” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Hakim).
Maka Nabi
shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan istighfar untuk mayit bukan taubat
untuk mayit. Mengingat perbuatan ini diperintahkan oleh syariat, menunjukkan
bahwa istighfar untuk mayit dapat bermanfaat. Karena Allah tidaklah
memerintahkan sesuatu kecuali perbuatan yang bermanfaat. Ini adalah kaedah yang
sangat penting dalam agama kita.
Kedua :
Istighfar
pelaku dosa untuk darinya sendiri.
Yang tepat,
istighfar seperti ini dapat bermanfaat untuk pelakunya mesti ia belum
bertaubat, namun, dengan syarat, istighfar tersebut muncul karena rasa takutnya
kepada Allah ‘azza wa jalla yang sebenarnya dan jujur. Maka orang seperti ini
berada pada dua situasi : antara takut kepada Allah dan kalah oleh hawa nafsu.
Saat rasa takut muncul ia beristighfar dan saat ia dikalahkan oleh syahwatnya
ia terjerumus dalam dosa, dan ia menyedari bahwa yang dilakukan adalah dosa.
Istighfar untuk orang seperti ini kita katakana bermanfaat untuknya.
Adapun
istighfar yang hanya di lisan, bukan karena takut kepada Allah, maka ini istighfar
yang dusta. Seorang mengatakan astaghfirullah, akan tetapi dalam hatinya tidak
ada rasa bersalah, takut kepada Allah dan kesadaran bahwa yang dilakukan adalah
dosa. Maka istighfar seperti ini tidak bermanfaat sama sekali.
Oleh karenanya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah– ketika menjawab permohonan Abul
Qosim al Maghribi –rahimahullah-, untuk menuliskan wasiat untuknya yang
kemudian tulisan tersebut dikenal dengan Al Wasiyyah As Sughro, menyatakan,
فإن الله قد يغفر له إجابة عن دعائه، وإن لم يتب، فإذا
اجتمعت الاستغفار و التوبة فهو الكمال
“Allah boleh
jadi mengampuninya sebagai pengabulan atas doanya, meski ia belum bertaubat.
Namun bila berkumpul antara istighfar dan taubat maka itulah yang sempurna” (Al
Wasiyyah As Sughro, hal. 31. Tahqiq Sobri bin Salamah Sāhin).
Bila seorang
dapat mengumpulkan istighfar dan taubat, maka itulah yang sempurna dan
diharapkan. Sebagaimana Allah mengumpulkan kedua hal ini dalam firmanNya,
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ
ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا
اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan (juga)
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat Allah. Lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
(beristighfar), siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah?!
Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu (bertaubat), sedang mereka
mengetahui” (QS. Ali Imron : 135).
Seperti yang
dilakukan Nabi kita shallallahu’alaihi wasallam, “Demi Allah, sungguh diriku
beristighfar dan bertaubat dalam sehari lebih dari 70 kali” (Muttafaqun’alaih).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan