Rabu, April 01, 2015

Putera Harun Ar Rasyid Yang Sangat Tawadhu'



Khalifah Harun Ar Rasyid rah.a mempunyai seorang putera sekitar enam belas tahun. Ia sering bergaul dengan para ahli zuhud dan tokoh-tokoh agama pada masa itu. Ia sering mengunjungi tanah kuburan, duduk di tepi kubur dan berkata, “Ada masanya ketika kamu tinggal di dunia ini dan kamu sebagai tuannya, tetapi ternyata dunia tidak melindungimu dan nasibmu berakhir di kubur. Seandainya aku tahu apa yang engkau alami sekarang ini, tentu aku ingin mengetahui apa yang kamu katakan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan kepadamu.”

Ia sering membaca syair :

Pemakaman menakutkanku setiap hari dan ratapan wanita-wanita yang berduka cita membuatku sedih.

Pada suatu hari, anak itu datang ke istana ayahnya Harun Ar Rasyid, yang sedang duduk bersama ajudan pribadinya, para pejabat dan tamu-tamu terhormat lainnya. Sedangkan puteranya itu berpakaian sangat sederhana, dengan sorban di kepalanya. Ketika orang-orang istana itu melihatnya demikian, mereka berkata, “Keadaan anak ini menghina Amirul Mukminin di hadapan para bangsawan, jika ia dapat memperingatkannya, mungkin anak itu akan menghentikan kebiasaannya.”

Khalifah mendengar ucapan itu, maka ia berkata kepada anaknya, “Anakku sayang, engkau telah mempermalukanku di hadapan para bangsawan.”

Anak itu tidak berkata sepatah katapun atas ucapan ayahnya. Bahkan ia memanggil seekor burung yang bertengger di dekat situ, “Wahai burung, aku memohon kepadamu, demi Dzat yang menciptakanmu, datanglah dan duduklah di atas tanganku.”

Burung itu terbang menghampirinya dan hinggap di atas tangannya. Kemudian anak itu menyuruhnya terbang lagi, dan burung itu pun terbang lagi ke tempat semula. Kemudian ia berkata kepada ayahnya, “Ayahku sayang, sesungguhnya kecintaanmu kepada dunia inilah yang memalukan diriku. Aku telah memutuskan untuk berpisah denganmu.” Setelah berkata demikian, ia pergi hanya berbekal Al Quran saja.

Ketika ia memohon pamit kepada ibunya, ibunya memberi sebuah cincin yang sangat indah dan mahal, (agar ia dapat menjualnya jika ia memerlukan uang). Anak laki-laki itu pergi ke Basrah, dan bekerja bersama para buruh. Namun ia hanya bekerja pada hari Sabtu saja. Dan ia gunakan upahnya sehari untuk satu minggu, dengan menggunakan (satu danaq) seperenam dirham setiap hari.

Kisah selanjutnya diceritakan oleh Abu Amir Bashri rah.a., ia berkata, “Pada suatu ketika, sebelah dinding rumahku roboh dan aku membutuhkan seorang tukang batu untuk memperbaikinya. Ada seseorang yang memberitahuku bahwa ada seorang anak laki-laki yang dapat mengerjakan pekerjaan tukang batu. Maka akupun mencarinya. Di luar kota, aku melihat seorang pemuda tampan sedang duduk di tanah sambil membaca al Quran dengan sebuah tas di sisinya. Aku menanyainya, apakah ia mau bekerja sebagai buruh? Ia menjawab, “Tentu, kita telah diciptakan untuk bekerja. Pekerjaan apakah yang tuan inginkan untukku?”

Kukatakan bahwa aku membutuhkan seorang tukang batu untuk mengerjakan bangunan. Ia berkata, “Aku mau asalkan upahku satu dirham dan satu danaq sehari. Dan aku akan berhenti kerja dan pergi ke masjid bila tiba waktu shalat, kemudian kulanjutkan pekerjaan tersebut setelah shalat.” Aku menyetujuinya.

Akhirnya ia ikut bersamaku dan mulai mengerjakan dinding itu. Pada sore harinya, aku kembali, dan aku sangat terkejut melihat bahwa ia telah melakukan pekerjaan seperti sepuluh orang tukang batu yang mengerjakannya. Akupun memberinya dua dirham. Tetapi ia menolak upah yang melebihi satu dirham dan satu danaq. Kemudian ia pergi hanya dengan upah yang telah disetujui.

Keesokan paginya, aku pergi lagi mencarinya, tetapi aku diberi tahu bahwa ia hanya bekerja pada hari Sabtu saja. Dan tiada seorangpun yang dapat menemukannya pada hari-hari lainnya. Karena aku sangat puas dengan pekerjaannya, maka kuputuskan untuk menunda pembangunan dindingku pada Sabtu depan. Pada hari Sabtu itu, aku mencarinya lagi dan kudapati ia di tempat yang sama sedang membaca al Quran sebagaimana biasa. Aku mengucapkan salam kepadanya, “Assalamu Alaikum.”

“Wa Alaikumus Salam.” Balasnya.

Ia bersedia bekerja lagi untukku dengan syarat yang sama. Ia pun ikut bersamaku dan mulai mengerjakan dinding itu lagi.

Disebabkan rasa heranku, bagaimana ia dapat mengerjakan pekerjaan sepuluh orang pekerja seorang diri seperti pada hari Sabtu yang lalu, maka akupun mengintipnya bekerja tanpa sepengetahuannya. Aku melihatnya dengan sangat takjub, bahwa ketika ia meletakkan adukan semen di dinding, maka batu-batu itu dengan sendirinya menyatu. Akhirnya aku sadar dan meyakini bahwa anak itu adalah kekasih Allah Swt.Sebagaimana hamba-hamba-Nya yang khusus saja yang mendapatkan pertolongan ghaib seperti itu dari Allah Swt.

Sore harinya, aku ingin memberinya tiga dirham, tetapi ia hanya mengambil satu dirham dan satu danaq kemudian pergi, sambil berkata, “Aku tidak membutuhkan lebih dari ini.” Aku menunggu minggu berikutnya, lalu aku mencarinya pada Sabtu berikutnya, tetapi aku tidak berhasil menemukannya.

Aku bertanya kepada orang-orang. Ada seorang laki-laki memberitahuku bahwa anak itu sedang mengalami sakit selama tiga hari dan berbaring di tempat yang sepi. Kemudian aku membayar seseorang untuk mengantarkanku ke tempat itu. Setibanya di sana, ia sedang berbaring di atas tanah tak sadarkan diri. Kepalanya berbantalkan sepotong batu. Aku menyalaminya, tetapi ia tidak membalasnya. Aku berkata, “Assalamu Alaikum.” lebih keras lagi. Ia membuka matanya sedikit dan mengenaliku. Aku baringkan kepalanya di pangkuanku, tetapi ia kembali meletakkan kepalanya di atas batu, dan membaca beberapa syair. Dua diantaranya masih kuingat, berbunyi demikian :

“Wahai kawanku, janganlah engkau terpedaya dengan kemewahan dunia. Karena hidupku akan berlalu. Kemewahan hanyalah untuk sekejap mata. Dan bila engkau mengusung jenazah ke pemakaman, ingatlah suatu hari engkaupun akan diusung ke pemakaman.”

Kemudian anak itu berkata kepadaku, “Abu Amir! Jika ruhku telah melayang, mandikanlah aku dan kafanilah aku dengan pakaian yang kupakai sekarang.”

Sahutku, “Sayangku, aku tidak keberatan membelikan kain baru untuk kafanmu.”

Ia berkata, “Orang yang masih hidup lebih menginginkan pakaian yang baru daripada yang mati.”

Anak itu menambahkan, “Kafan (lama ataupun baru) akan segera membusuk. Yang tinggal dengan seseorang setelah kematian adalah amal perbuatannya. Berikan sorban dan kendi airku kepada penggali kuburku dan jika engkau telah memakamkanku, sampaikan al Quran dan cincin ini kepada khalifah Harun Ar Rasyid. Tolonglah agar langsung ke tangannya dan katakan kepadanya, “Benda-benda itu dipercayakan kepadaku oleh seorang lelaki asing yang memintaku untuk menyampaikannya kepada engkau dengan pesan, “Wahai ayah, perhatikanlah, jangan sampai engkau meninggal dalam kelalaian dan terpedaya oleh dunia.”

Dengan kata-kata itu di bibirnya, anak itu meninggal dunia. Saat itu barulah kusadari bahwa anak itu adalah seorang pangeran.

Setelah wafat, akupun memandikannya, mengafaninya dan membaringkannya dalam kubur sesuai dengan pesannya. Lalu kuberikan sorban dan lothanya kepada penggali kuburnya. Kemudia aku pergi ke Baghdad untuk menyampaikan cincin dan al Quran kepada khalifah.

Sungguh beruntung, setibanya aku di sana, baru saja iringan khalifah keluar istana. Aku berdiri di sebuah tempat yang agak tinggi sambil memperhatikan pawai itu. Tidak lama kemudian keluarlah satu pasukan terdiri dari seribu orang berkuda, diikuti oleh sepuluh pasukan lagi yang masing-masing terdiri dari seribu orang berkuda.

Diantara pasukan yang terakhir, terlihatlah Amirul Mukminin, maka akupun langsung memanggilnya dengan berteriak, “Amirul Mukminin, aku mohon kepadamu, atas nama hubungan kekeluargaan dengan Rasulullah Saw., berhentilah sebentar.”

Amirul Mukminin berhenti dan melihat sekeliling, lalu aku maju kedepannya dan menyerahkan kedua benda amanat dari almarhum putera pangeran itu, lalu aku berkata, “Benda-benda ini telah dipercayakan kepadaku oleh seorang pemuda asing yang kini telah meninggal dunia, ia berwasiat agar benda-benda ini disampaikan langsung ke tangan tuan.”

Khalifah memandangi cincin dan al Quran itu sambil menundukkan kepalanya dengan sedih. Aku melihat air matanya mengalir, kemudian ia menyuruh pengurus istana untuk mengantarku ke istananya. Aku tinggal bersama pengurus istana itu.

Setelah khalifah kembali pada sore harinya. ia menyuruh agar tirai-tirai istana diturunkan, dan menyuruh pengurus istana agar agar membawaku ke hadapannya, kemudian ia berkata, “Lelaki itu hanya akan menimbulkan kesedihan bagiku.”

Pengurus istana menemuiku dan berkata, “Amirul Mukminin memanggilmu, namun ingatlah, jiwanya sedang bergoncang. Jika engkau ingin mengatakan sesuatu dalam sepuluh kata, cobalah mengatakannya dengan lima kata saja.”

Kemudian ia mengantarkanku ke kamar pribadi khalifah. Kulihat khalifah sedang duduk seorang diri, lalu ia menyuruhku untuk duduk di dekatnya. Ia bertanya kepadaku, “Apakah kamu mengenal anakku?”

Jawabku, “Ya.”

Ia bertanya, “Apa saja yang ia lakukan untuk menafkahi hidupnya?”

Kukatakan bahwa ia bekerja sebagai tukang batu. Amirul Mukminin bertanya, “Apakah engkau juga pernah mempekerjakannya sebagai tukang batu?”

Aku berkata, “Ya, pernah kulakukan.”

Amirul Mukminin berkata, “Apakah tidak terpikir olehmu, bahwa ia berhubungan keluarga dengan Rasulullah Saw.?” (Harun Ar Rasyid adalah keturunan Abbas r.a. paman Rasulullah Saw.)

Jawabku, “Wahai Amirul Mukminin! Pertama aku memohon ampun kepada Allah Swt. dan aku meminta maaf kepadamu, karena aku mengetahuinya setelah ia meninggal dunia.”

Khalifah berkata, “Apakah engkau memandikannya dengan tanganmu sendiri?”

Aku berkata, “Ya.”

Ia berkata, “Biarlah kusentuh tanganmu.” Kemudian ia memegang tanganku ke dadanya dan mengusap-usap dadanya dengan tanganku, lalu ia membaca beberapa bait syair yang bunyinya :

“Wahai engkau yang menjauhkan dariku.
Hatiku larut dalam kesedihan atasmu.
Mataku mengalirkan air mata penderitaan.
Wahai engkau yang jauh pemakamannya.
Terlalu jauh. Kesedihanmu lebih dekat di hatiku.
Benar, kematian itu membingungkan kesenangan yang tertinggi di dunia.
Wahai anakku yang menjauh dariku.
Engkau bagai bulan yang tergantung di atas dahan perak.
Bulan telah menetap di kubur, sedang dahan perak menjadi debu.”

Kemudian Harun Ar Rasyid memutuskan untuk pergi ke Basrah mengunjungi makam puteranya dan aku menemaninya. Ketika berdiri di sisi makam puteranya, Harun Ar Rasyid membaca syair berikut ini :

“Wahai pengembara ke alam yang tidak diketahui.
Tidak akan engkau kembali ke rumah.
Kematian telah merengutmu di awal masa remajamu.
Wahai penyejuk mataku, engkaulah pelipur laraku.
Kediaman hatiku, di kesunyian.
Engkau telah merasakan racun kematian.
Yang seharusnya ayahmulah yang minum di usia tuanya.
Sungguh setiap orang akan merasakan kematian.
Apakah ia seorang pengembara atau penduduk kota.
Segala puji bagi Allah Yang Esa. Yang tidak mempunyai sekutu.
Karena ini adalah bukti dari keputusannya.”

Pada malam berikutnya setelah menunaikan kebiasaan ibadah harianku, dalam tidurku aku bermimpi melihat sebuah istana berkubah penuh nur. Di atasnya ada awan dari nur yang menaunginya. Dari awan nur itu keluarlah suara almarhum pemuda itu yang berkata, “Abu Amir, Semoga Allah Swt. menganugerahimu pahala terbaik.”

Aku bertanya kepadanya, “Sahabatku, apa yang telah engkau alami di alam sana?”

Ia berkata, “Aku telah diakui di hadapan Tuhanku Yang Maha Pemurah dan Yang merasa senang denganku. Ia telah memberiku karunia yang mata tidak pernah melihatnya, telinga tidak pernah mendengarnya dan akal tidak dapat memikirkannya.”

Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, “Di dalam Taurat tertulis bahwa Allah Swt. menyiapkan suatu karunia bagi mereka yang meninggalkan tempat tidurnya untuk menangis kepada Tuhan mereka (dalam shalat Tahajjud) yang tidak pernah mata melihatnya, tidak pernah telinga mendengarnya, tidak pernah terpikirkan oleh akal seseorang dan tidak ada seorangpun atau malaikat yang mengetahuinya, dan tidak pernah diketahui oleh siapapun. Allah Swt. berfirman di dalam al Quran :

“Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
(As Sajdah ayat 17)

Kemudian arwah pemuda itu berkata kepadaku (dalam mimpi), “Allah Swt. telah berjanji kepadaku, bersumpah demi keagungan-Nya. bahwa Ia akan menganugerahi kehormatan dan karunia semacam itu kepada semua yang keluar dari dunia seperti aku, tanpa ternodai olehnya”

Penulis Raudh berkata bahwa kisah ini juga telah sampai kepadanya melalui periwayat yang lain. Ditambahkan dalam riwayat ini bahwa seseorang bertanya kepada Harun Ar Rasyid mengenai puteranya. Ia berkata, “Puteraku dilahirkan sebelum aku diangkat sebagai khalifah. Ia diasuh dan diajarkan adab dan sopan santun dengan sangat baik. Ia telah mempelajari al Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya. Tetapi ketika aku diangkat menjadi khalifah, ia meninggalkanku dan pergi. Kebesaran duniawiku tidak memberikan kesenangan dalam hidupnya. Dan ia tidak ingin memanfaatkannya sedikitpun. Ketika ia akan pergi, aku meminta ibunya agar memberinya sebuah cincin mutiara yang indah. Namun ia menolak memakainya dan mengirimnya kembali sebelum ia wafat. Anak itu sangat patuh kepada ibunya.” (Raudh)

Harun Ar Rasyid rah.a, -yang puteranya tidak menyukai dunia- terkenal sebagai khalifah yang sangat shaleh dan budiman. Biasanya, jika seseorang memilki kekuasaan dan harta kekayaan, suka tergelincir dalam perbuatan-perbuatan buruk, tetapi sejarah membuktikan bahwa ia banyak terjun dalam hal agama. Selama masa kekhalifahannya, ia shalat nafil seratus rakaat setiap hari hingga wafatnya. Ia suka bersedekah dari saku pribadinya seribu dirham setiap hari. Ia juga memimpin pasukan jihad dan beribadah haji dua tahun sekali.

Apabila beribadah haji, ia membawa seratus alim ulama dan putera mereka bersamanya. Dan pada tahun-tahun ia berjihad, ia akan mengirim tiga ratus orang rakyatnya untuk pergi haji. Ia menanggung biaya-biaya perjalanan, makanan dan pakaian mereka. Ia memberikan pelayanan dan pakaian yang terbaik untuk mereka. Ia pun biasa memberi hadiah kepada siapapun yang meminta pertolongannya, dan menolong siapapun atas kehendaknya tanpa diminta. Ia sangat mencintai alim ulama, yang mendapat penghormatan tersendiri di istananya.

Suatu ketika, muhaddits terkenal Abu Muawiyah ad Dharir (bermakna yang buta) makan bersama Harun Ar Rasyid. Setelah makan, ketika ulama buta itu berdiri untuk mencuci tangannya, khalifah langsung mengucurkan air ke atas tangannya., dan berkata bahwa ia melakukan itu karena penghormatannya kepada ilmunya.

Abu Muawiyah ad Dharir rah.a. berkata, “Suatu ketika, pada saat aku menceritakan kepadanya tentang hadits Rasulullah Saw. tentang perdebatan antara Adam a.s. dan Musa a.s. ada seseorang laki-laki yang duduk di dekatnya berkata, “Di mana mereka telah bertemu?”

Mendengar hal ini, Harun Ar Rasyid langsung berseru marah, “Mana pedangku? Biar kupenggal leher orang zindiq ini. Ia berani membantah hadits Rasulullah Saw.?”

Dan Harun Ar Rasyid sering menangis keras bila ada nasehat yang ditujukan kepadanya. (Sejarah Baghdad- Al Khatib).

Sumber : Fadhilah Sedekah – Maulana Muhammad Zakariyya Rah.a

Tiada ulasan: