Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok
orang beriman yang hidup pada masa Raja Diqyanus di Romawi, beberapa ratus
tahun sebelum diutusnya nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah
berhala dengan seorang raja yang dzalim.
Ketika sang raja mengetahui ada
sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu
memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang
raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh.
Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka di mulut sebuah
gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian.
Dengan izin Allah mereka kemudian
ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika
masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang
beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-‘Adzim; jilid:3 ;
hal.67-71).
Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi
(Penghuni Gua) yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya. Penulis kitab
Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300),
mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya.
Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir
ayat 10 Surah Al-Kahfi: Al-Kahf Ayat 10
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ
إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ
لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا 10.
(Ingatlah) tatkala para pemuda itu
mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan
kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami
petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini Dengan panjang lebar kitab Qishashul
Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:
Di kala Umar Ibnul Khattab memegang jawatan
sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi.
Mereka berkata kepada Khalifah: “Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang
kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar.
Kami hendak menanyakan beberapa masalah
penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami
mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar
seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa
agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.”
“Silakan bertanya tentang apa saja yang
kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar. “Jelaskan kepada kami tentang induk
kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu,
memulai pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah
kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu?
Tunjukkan kepada kami tentang suatu
makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia
dan bukan jin!
Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”
Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk
berfikir sejenak, kemudian berkata: “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’
atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan
suatu hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti
itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan,
sambil berkata: “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang
Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir,
segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu
sebentar!” Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu,
Salman berkata: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!” Imam Ali r.a.
bingung, lalu bertanya: “Mengapa?” Salman kemudian menceritakan apa yang sedang
dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat
menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain
penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w.
Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib
datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata:
“Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!” Setelah
berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu,
Ali bin Abi Thalib herkata: “Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang
kalian inginkan.
Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku
seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam
cabang ilmu!” Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan
mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku ingin mengajukan
suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab
pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian
supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!” “Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: “Apakah induk
kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?” “Induk kunci itu,” jawab
Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik
pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat
naik sampai ke hadhirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak
kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?” Ali bin Abi Thalib menjawab:
“Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasul Allah!”
أشهدُ ألا إله إلا الله وأشهدُ أن محمدا رسول
الله
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di
antara mereka, sambil berkata: “Orang itu benar juga!” Mereka bertanya lebih
lanjut: “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat
berjalan bersama penghuninya!”
Jawab Ali “Kuburan itu ialah ikan hiu
(hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi
Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!”
Firman Allah Ta’ala :
وَإِنَّ يُونُسَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ
sesungguhnya Yunus benar-benar salah
seorang rasul
إِذْ أَبَقَ إِلَى الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ
(ingatlah) ketika ia lari, ke kapal yang
penuh muatan,
فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ
Kemudian ia ikut berundi lalu dia
termasuk orang-orang yang kalah dalam undian – 141
فَالْتَقَمَهُ الْحُوتُ وَهُوَ مُلِيمٌ
Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan
tercela – 142
فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ
Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk
orang-orang yang banyak mengingat Allah – 143
لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
Niscaya ia akan tetap tinggal di perut
ikan itu sampai hari berbangkit.
Daripada Sa’ad bin Abi Waqas RA bahawa
Nabi SAW bersabda:
دَعْوَةُ ذِي النُّونِ
إِذْ دَعَا وَهُوَ فِي بَطْنِ الحُوتِ: لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ
إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ
فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ
Maksudnya: “Doa Nabi Yunus ketika baginda
berdoa di dalam perut ikan paus: “Sesungguhnya tiada Tuhan (yang dapat
menolong) melainkan Engkau! Maha Suci Engkau! Sesungguhnya aku adalah daripada
orang-orang yang menganiaya diri sendiri”. Maka sesungguhnya tidak seorang
muslim itu apabila berdoa dengannya untuk sesuatu perkara (masalah) melainkan
Allah SWT akan memustajabkan baginya”. [Riwayat al-Tirmizi (3505)][Syeikh
Syuaib al-Arna’outh berpendapat sanad hadith ini sebagai hasan]
Pendeta-pendeta itu meneruskan
pertanyaannya lagi: “Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi
peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Makhluk itu
ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata
kepada kaumnya: “Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar
tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak
sadar!” An-Naml Ayat 18
حَتَّىٰ إِذَا أَتَوْا عَلَىٰ وَادِ النَّمْلِ
قَالَتْ نَمْلَةٌ يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا
يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ 18.
Hingga apabila mereka sampai di lembah
semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam
sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya,
sedangkan mereka tidak menyadari
Para pendeta Yahudi itu meneruskan
pertanyaannya: “Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang
berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk
itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!” Ali bin Abi Thalib
menjawab: “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta
Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang
menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi
itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam
Ali r.a. lalu mengatakan: “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasul Allah!” Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri
sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, hati teman-temanku sudah
dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya
agama Islam.
Sekarang masih ada satu hal lagi yang
ingin kutanyakan kepada anda.” “Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut
Imam Ali. “Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman
dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah.
Bagaimana hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi. Ali bin Ali Thalib
menjawab: “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat
tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya.
Jika engkau mau, akan kubacakan kisah
mereka itu.” Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku sudah banyak mendengar tentang
Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama
mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing
mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai
akhir!” Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke
depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang.
Lalu ia berkata: “Hai saudara Yahudi,
Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah
itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga
dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus
(Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus
(Tarse, sekarang terletak di Àdalam wilayah Turki).
Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai
seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya
didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang
amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan
pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus.
Olehnya kota itu dijadikan ibukota
kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana.” Baru sampai di situ, pendeta Yahudi
yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: “Jika engkau benar-benar tahu, coba
terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan
ruangan-ruangannya!” Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai saudara Yahudi, raja
itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya
satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang
berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang
berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu
bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak.
Tiap malam apinya dinyalakan dengan
sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang
cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga
matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi.
Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas.
Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40
hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas.
Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan
80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa
tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas
kepala.” Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata:
“Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu
dibuat?” “Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan, “mahkota raja itu
terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan
mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan
malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan,
terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju
sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau.
Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing
diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.
Selain mereka, raja juga mengangkat 6
orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri
atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa
berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di
kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang
lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi.
Lalu berkata: “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama
enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!” Menanggapi hal itu, Imam
Ali r.a. menjawab: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan
kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing
bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang
berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan
Sidemius.
Raja selalu berunding dengan mereka
mengenai segala urusan. Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana
dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan
menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian
murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang
yang seorangnya lagi membawa seekor burung.
Orang yang membawa burung ini kemudian
mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi
air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia
mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan
ke semua tempat sekitarnya. Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara
isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi
wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan
sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis
dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara
lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil
membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas
singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah
diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut,
demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri
sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku
diri sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t. Raja itu
kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat
dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi
barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia
akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya.
Dalam masa yang cukup lama, semua orang
patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja
dan menyembah Allah s.w.t. Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang
duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah
seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke
dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap
raja.
Demikian sedih dan bingungnya raja itu,
sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala.
Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah
seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama
Tamlikha– memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir,
lalu berkata di dalam hati: “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana
menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air
kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.”
Enam orang pembantu raja itu tiap hari
selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara
bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima
orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum,
tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum.
Teman-temannya bertanya: “Hai Tamlikha,
mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?” “Teman-teman,” sahut
Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin
makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.” Teman-temannya mengejar:
“Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?” “Sudah lama aku memikirkan soal
langit,” ujar Tamlikha menjelaskan.”
Aku lalu bertanya pada diriku sendiri:
‘siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan
terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari
bawah? Luqman Ayat 10
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ
تَرَوْنَهَا ۖ وَأَلْقَىٰ فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَبَثَّ
فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ ۚ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنْبَتْنَا
فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ كَرِيمٍ 10.
Dia menciptakan langit tanpa tiang yang
kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya
bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala
macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami
tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik. Siapakah yang
menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Yunus Ayat 5
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً
وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ
وَالْحِسَابَ ۚ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ يُفَصِّلُ
الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ 5.
Dialah yang menjadikan matahari bersinar
dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui
Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’
Kemudian kupikirkan juga bumi ini:
‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang
menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan
tidak miring?’
Aku juga lama sekali memikirkan diriku
sendiri: ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku?
Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti
ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ
أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ
وَالْأَفْئِدَةَ ۙ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan Allah yang mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibu kamu dalam keadaan tidak tahu apa-apa, lalu Allah menjadikan untuk kamu pendengaran, penglihatan, dan akal fikiran agar kamu bersyukur - An Nahl 78
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut
di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: “Hai Tamlikha dalam
hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena
itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!” “Saudara-saudara,”
jawab Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari
meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!”
“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak
pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3
dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat
berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota,
Tamlikha berkata kepada teman-temannya: “Saudara-saudara, kita sekarang sudah
terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari
kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan
kita serta memberikan jalan keluar.”
Mereka turun dari kudanya masing-masing.
Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena
tidak biasa berjalan kaki sejauh itu. Tiba-tiba datanglah seorang penggembala
menyambut mereka.
Kepada penggembala itu mereka bertanya:
“Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?” “Aku mempunyai
semua yang kalian inginkan,” sahut penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah
kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan
diri.
Coba beritahukan kepadaku bagaimana
cerita perjalanan kalian itu!” “Ah…, susahnya orang ini,” jawab mereka. “Kami sudah
memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika
kami mengatakan yang sebenarnya?” “Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu
menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala
itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia
berkata: “Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati
kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan
kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi
kepada kalian.” Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu
segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama
kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ,
pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai Ali,
jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan
siapakah namanya?” “Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib
memberitahukan, “kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku,
bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam
orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada
temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia
kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan
batu. Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas
dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan
jelas sekali: “Hai manusia, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini
bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku
menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku
kepada Allah s.w.t.” Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi.
Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka
mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu,
bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: “Apakah nama gunung itu dan
apakah nama gua itu?!” Imam Ali menjelaskan: “Gunung itu bernama Naglus dan
nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!” Ali bin Abi
Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan
berbuah dan memancur mata-air deras sekali.
Mereka makan buah-buahan dan minum air
yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung
di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga
sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian
Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing
orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik
tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada
saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada
saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Al-Kahf Ayat 18
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ
وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ
ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ
فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا 18.
Dan kamu mengira mereka itu bangun,
padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri,
sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika
kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan
melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap
mereka Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya
tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan
diri.
Raja Diqyanius sangat gusar.
Bersama 80,000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur. Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!” Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen).
Bersama 80,000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur. Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!” Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen).
Selesai dikerjakan, raja berkata kepada
para pengikutnya: “Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau
benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka
yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.” Dalam gua
tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Al-Kahf Ayat 25
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ
سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا
Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga
ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi Setelah masa yang amat panjang
itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka.
Pada saat matahari sudah mulai
memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya
masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Malam tadi kami lupa
beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”
Al-Kahf Ayat 12
ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ
الْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا
Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami
mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam
menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu Setelah mereka berada di
luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan
pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya.
Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa
lapar. Mereka saling bertanya: “Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan
bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi
yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli
makanan yang dimasak dengan lemak-babi.”
Al-Kahf Ayat 19
وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا
بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا
أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا
أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا
أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا
يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا 19.
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini).
Maka suruhlah salah seorang di antara
kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia
lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu
untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali
menceritakan halmu kepada seorangpun Tamlikha kemudian berkata: “Hai
saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan.
Tetapi, hai penggembala, berikanlah
bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!” Setelah Tamlikha memakai baju
penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati
tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan
yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera
hijau berkibar di angkasa bertuliskan: “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah
Roh Allah.”
Tamlikha berhenti sejenak memandang
bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: “Kusangka aku
ini masih tidur!” Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia
meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca
Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal.
etibanya di sebuah pasar ia bertanya
kepada seorang penjaja roti: “Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?”
“Aphesus,” sahut penjual roti itu. “Siapakah nama raja kalian?” tanya Tamlikha
lagi. “Abdurrahman,” jawab penjual roti. “Kalau yang kau katakan itu benar,”
kata Tamlikha, “urusanku ini sungguh aneh sekali!
Ambillah uang ini dan berilah makanan
kepadaku!” Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang
dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih
berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian
berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, kalau
benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama
itu dibanding dengan uang baru!” Imam Ali menerangkan: “Kekasihku Muhammad
Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha
dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua
pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya:
Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: “Aduhai, alangkah beruntungnya aku!
Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku!
Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!” “Aku tidak menemukan harta
karun,” sangkal Tamlikha. “Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil
penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena
orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!” Penjual roti itu marah. Lalu
berkata: “Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela
menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut
seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah
mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak
memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa
pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan
bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha:
“Bagaimana cerita tentang orang ini?” “Dia menemukan harta karun,” jawab
orang-orang yang membawanya. Kepada Tamlikha, raja berkata: “Engkau tak perlu takut!
Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari
harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya
engkau akan selamat.”
Tamlikha menjawab: “Baginda, aku sama
sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!” Raja
bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau penduduk kota ini?” “Ya. Benar,” sahut
Tamlikha. “Adakah orang yang kau kenal?” tanya raja lagi. “Ya, ada,” jawab
Tamlikha. “Coba sebutkan siapa namanya,” perintah raja. Tamlikha menyebut
nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal
oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan.
Mereka berkata: “Ah…, semua itu bukan
nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau
mempunyai rumah di kota ini?” “Ya, tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang
menyertai aku!” Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha
pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di
kota itu.
Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: “Inilah rumahku!” Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang: “Kalian ada perlu apa?” Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: “Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!” Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: “Siapa namamu?” “Aku Tamlikha anak Filistin!” Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi lagi!” Tamlikha menyebut lagi namanya.
Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: “Inilah rumahku!” Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang: “Kalian ada perlu apa?” Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: “Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!” Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: “Siapa namamu?” “Aku Tamlikha anak Filistin!” Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi lagi!” Tamlikha menyebut lagi namanya.
Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di
depan kaki Tamlikha sambil berucap: “Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah
seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja
durhaka.” Kemudian diteruskannya dengan suara haru: “Ia lari berlindung kepada
Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan
kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!”
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua
itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera
datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi.
Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha
diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan
dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: “
Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam
gua. “Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana.
Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang
bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju
ke gua,” demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya. Teman-teman Tamlikha semuanya
masih berada di dalam gua itu.
Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata
kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: “Aku khawatir kalau sampai
teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka
pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu
kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan
memberitahu mereka!” Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke
dalam gua.
Melihat Tamlikha datang, teman-temannya
berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka
berkata: “Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari
Diqyanius!” Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian,
sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?”
Kami tinggal sehari atau beberapa hari
saja,” jawab mereka. Al-Kahf Ayat 26
قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا ۖ لَهُ
غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ ۚ مَا لَهُمْ مِنْ
دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا. Katakanlah: "Allah lebih mengetahui
berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang
tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah
tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain dari
pada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam
menetapkan keputusan
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ
سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا.
Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga
ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi “Tidak!” sangkal Tamlikha.
“Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal
dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu
sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk
bertemu dengan kalian!” Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai Tamlikha, apakah
engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh
jagad?” “Lantas apa yang kalian inginkan?” Tamlikha balik bertanya. “Angkatlah
tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,” jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: “Ya Allah,
dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang
keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami
tanpa sepengetahuan orang lain!” Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka.
Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah
s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas.
Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu
segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari
pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk
lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin
tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang bangsawan itu
memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai
peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka. Bangsawan yang beragama
Islam lalu berkata: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan
sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.” Sedang bangsawan yang beragama Nasrani
berkata pula: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan
sebuah biara di pintu gua itu.”
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan
setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh
bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah
berfirman: “Dan begitulah Kami menyerempakkan mereka, supaya mereka mengetahui
bahawa janji Allah adalah benar, dan bahawa Saat itu tidak ada keraguan
padanya. Apabila mereka berbalahan antara mereka dalam urusan mereka, maka
mereka berkata, “Binalah di atas mereka satu bangunan;
Pemelihara mereka sangat mengetahui
mengenai mereka.” Berkata orang-orang yang menguasai atas urusan mereka, “Kami
akan membina di atas mereka sebuah masjid.”
Al-Kahf Ayat 21 وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا
أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ
يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ۖ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا
ۖ رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ ۚ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰ أَمْرِهِمْ
لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا 21.
Dan demikian (pula) Kami mempertemukan
(manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu
benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang
itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: "Dirikan
sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang
mereka". Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata:
"Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para
penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu:
“Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka.
Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya
kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum
dalam Taurat kalian?” Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya Abal Hasan, engkau tidak
menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan
menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada
tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku
pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat
ini!”
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha ‘ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w. redit Kisah Lengkap Pemuda Ashabul Kahfi: Keagungan Allah, Kehebatan Ali, Kecerdasan Tamlikha * Dalam surat Al-Kahfi, Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan nabi Musa as dan nabi Khaidir as serta kisah Dzulqarnain.
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha ‘ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w. redit Kisah Lengkap Pemuda Ashabul Kahfi: Keagungan Allah, Kehebatan Ali, Kecerdasan Tamlikha * Dalam surat Al-Kahfi, Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan nabi Musa as dan nabi Khaidir as serta kisah Dzulqarnain.
Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian
lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut.
Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti
juga kisah dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata, tapi juga
terdapat banyak pelajaran (ibrah) didalamnya.
Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok
orang beriman yang hidup pada masa Raja Diqyanus di Romawi, beberapa ratus tahun
sebelum diutusnya nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah
berhala dengan seorang raja yang dzalim. Ketika sang raja mengetahui ada
sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu
memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang
raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh.
Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka di mulut sebuah
gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian.
Dengan izin Allah mereka kemudian
ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika
masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang
beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-‘Adzim; jilid:3 ;
hal.67-71).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan