Ia berkata: ‘ambillah dinar-dinar ini’. Namun aku menolaknya.
Kemudian aku berangkat menuju Syâm. Aku singgah di al-Quds (Palestina) untuk menuju Baghdâd. (Dalam perjalanan), aku bernaung di sebuah masjid di kota Halab (Aleppo, Syria) dalam keadaan dingin dan lapar. Para jama’ah masjid tersebut menghampiriku, maka aku pun mengimami shalat mereka. Makanan, lantas mereka suguhkan untukku.
Saat itu, Ramadhân baru menghampiri. Mereka berkata padaku:
‘Imam kami telah wafat, mohon kiranya engkau bisa mengimami shalat bersama kami bulan ini’. Aku mengiyakan permintaan mereka.
Kembali mereka berkata padaku: ‘Imam kami punya seorang putri’. Aku pun dinikahkan dengannya. Setahun lamanya aku tinggal bersamanya, dan aku memberinya seorang putra. Saat menjalani masa nifas, ia ditimpa oleh sakit.
Suatu hari aku melihat istriku. Di lehernya ada seuntai kalung—yang dulu pernah aku temukan dan aku kembalikan pada pemiliknya, seorang Syaikh yang tua lagi buta—masih dengan benangnya yang berwarna merah.
Aku lantas bertutur pada istriku: ‘Pada kalung ini, ada sebuah kisah’. Kemudian aku menceritakan padanya kejadianku bersama Syaikh kala itu.
Iapun menangis, seraya berkata: ‘Engkau…, engkaulah orangnya, demi Allâh. Dulu ayahku pernah menangis, dalam munajatnya ia berkata: ‘Yâ Allâh…!! Karuniakanlah putriku seorang suami semisal laki-laki yang telah mengembalikan kalung ini padaku’. Sungguh Allâh telah mengabulkan do’anya”. Istriku lantas wafat menyambut ajalnya.
Kisah ini yang indah lagi ajaib ini termaktub dalam Mirâtu az-Zamân hal. 8/52-53. Saya menukilnya dari Siyar A’lâmin Nubalâ’: 14/332-333 (cet. Dârulhadïts-Kairo, 1427-H), karya Imam adz-Dzahabi rahimahullâh (wafat: 748-H)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan