Menguak Misteri
Bani Qanthura, Benarkah mereka Koalisi Amerika-Eropa yang menggempur negeri
1001 malam ?
Salah satu riwayat
‘ajaib’ tentang nasib Iraq di akhir zaman adalah riwayat tentang invasi Bani
Qanthura terhadap Iraq. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw menjelaskan
bahwa di akhir zaman nanti akan terjadi penyerbuan bangsa Qanthura’ terhadap
Bashrah, sebuah negeri kaum muslimin yang berada di tepi sungai Dajlah (Tigris
hari ini). Dalam peperangan tersebut umat Islam berhasil mengalahkan bangsa
Qanthura’.
Dari Abu Bakrah
bahwasanya Rasulullah telah bersabda:
يَنْزِلُ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي بِغَائِطٍ
يُسَمُّونَهُ الْبَصْرَةَ عِنْدَ نَهْرٍ يُقَالُ لَهُ دِجْلَةُ يَكُونُ عَلَيْهِ
جِسْرٌ يَكْثُرُ أَهْلُهَا وَتَكُونُ مِنْ أَمْصَارِ الْمُهَاجِرِينَ قَالَ ابْنُ
يَحْيَى قَالَ أَبُو مَعْمَرٍ وَتَكُونُ مِنْ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِينَ. فَإِذَا كَانَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ جَاءَ بَنُو قَنْطُورَاءَ
عِرَاضُ الْوُجُوهِ صِغَارُ الْأَعْيُنِ حَتَّى يَنْزِلُوا عَلَى شَطِّ النَّهْرِ
فَيَتَفَرَّقُ أَهْلُهَا ثَلَاثَ فِرَقٍ فِرْقَةٌ يَأْخُذُونَ أَذْنَابَ الْبَقَرِ
وَالْبَرِّيَّةِ وَهَلَكُوا وَفِرْقَةٌ يَأْخُذُونَ لِأَنْفُسِهِمْ وَكَفَرُوا
وَفِرْقَةٌ يَجْعَلُونَ ذَرَارِيَّهُمْ خَلْفَ ظُهُورِهِمْ وَيُقَاتِلُونَهُمْ
وَهُمْ الشُّهَدَاءُ
“Akan ada
segolongan kaum dari umatku yang menetap di sebuah daerah yang mereka namakan
Bashrah, di sisi sebuah sungai yang disebut Dijlah (Dajlah), dan di atas sungai
itu ada sebuah jembatan. Penduduk daerah itu akan bertambah banyak, dan ia akan
menjadi salah satu negeri dari negeri-negeri orang-orang yang berhijrah.
[Perawi Muhammad ibnu Yahya berkata: Abu Ma’mar meriwayatkan dengan mengatakan:
negeri-negeri kaum muslimin].
Kelak di akhir
zaman Bani Qanthura’ yang berwajah lebar dan bermata sipit akan datang
menyerbu, sehingga mereka mencapai tepian sungai Dajlah. Pada saat itulah
penduduk daerah itu akan terpecah menjadi tiga kelompok. Satu kelompok mengikuti ekor
sapi (menuntun binatang mereka) dan menyelamatkan diri ke pedalaman, Mereka
akan binasa. Satu
kelompok lainnya memilih menyelamatkan dirinya dengan jalan memilih kekafiran.
Adapun kelompok terakhir
menempatkan keluarganya di belakang punggung mereka dan bertempur melawan musuh.
Mereka itulah orang-orang yang akan mati syahid.”[1]
Dalam lafal yang
lain diterangkan bahwa sisa-sisa kelompok umat Islam yang berperang ini akan
mampu mengalahkan Bani Qanthura’:
فَيَتَفَرَّقُ الْمُسْلِمُونَ ثَلَاثَ فِرَقٍ
فَأَمَّا فِرْقَةٌ فَيَأْخُذُونَ بِأَذْنَابِ الْإِبِلِ وَتَلْحَقُ بِالْبَادِيَةِ
وَهَلَكَتْ وَأَمَّا فِرْقَةٌ فَتَأْخُذُ عَلَى أَنْفُسِهَا فَكَفَرَتْ فَهَذِهِ
وَتِلْكَ سَوَاءٌ وَأَمَّا فِرْقَةٌ فَيَجْعَلُونَ عِيَالَهُمْ خَلْفَ ظُهُورِهِمْ
وَيُقَاتِلُونَ فَقَتْلَاهُمْ شُهَدَاءُ وَيَفْتَحُ اللَّهُ عَلَى بَقِيَّتِهَا.
“Adapun satu
kelompok yang terakhir menempatkan keluarganya di belakang punggung mereka dan
mereka maju berperang menyongsong musuh. Orang-orang yang terbunuh di antara
mereka adalah orang-orang yang mati syahid, dan Allah akan melimpahkan
kemenangan kepada mereka melalui orang-orang yang tersisa.”[2]
Inikah bani Qanthura yang akan
menggempur Bashrah ?
Bashrah adalah
sebuah kota yang dibangun oleh sahabat ‘Utbah bin Ghazwan pada masa penaklukkan
Persia di zaman pemerintahan khalifah Umar bin Khatab. Imam Syamsul Haq ‘Azhim
Abadi mengutip penjelasan imam al-Asyraf bahwa yang dimaksud dengan Bashrah
dalam hadits ini adalah Baghdad yang mendapat julukan negeri kedamaian (madinat
al-salam). Alasannya, Dajlah adalah sebuah sungai, sementara jembatan Dajlah
tersebut berada di tengah (atas) sungai Dajlah, bukan di tengah kota Bashrah
sendiri.
Nabi menyebutkan daerah
tersebut dengan nama Bashrah, mengingat di luar kota Baghdad —tepatnya di dekat
pintu gerbang masuk kota Baghdad— terdapat sebuah tempat yang disebut Bab
Bashrah, pintu gerbang Bashrah. Jadi Nabi menunjuk kota Baghdad dengan
menyebutkan satu bagian darinya. Beliau menyebut nama Basrah, namun yang beliau
maksudkan adalah Bab Bashrah, pintu gerbang Bashrah.
Pada masa Nabi,
Baghdad belumlah berwujud seperti keadaannya hari ini. Bahkan nama Baghdad
sendiri juga belum ada. Saat itu ia tak lebih dari sebuah daerah pedalaman
dalam kekuasaan imperium Persia yang begitu luas.[3]
Oleh karenanya dalam hadits ini Rasulullah n menyebutkan
bahwa pada masa yang akan datang ia akan menjadi salah satu negeri kaum
muslimin. “…dan ia akan menjadi salah satu negeri dari negeri-negeri kaum
muhajirin (dalam riwayat Abu Ma’mar: negeri-negeri kaum muslimin).”demikian
sabda beliau.[4]
Siapa Sebenarnya Bani Qanthura’?
Hadits di atas
menjelaskan dua ciri fisik Bani Qanthura’, yaitu wajah yang lebar dan mata yang
sipit. Apabila dua sifat fisik ini dikaitkan dengan hadits-hadits shahih lainnya
yang menjelaskan identitas bangsa yang mempunyai ciri-ciri fisik serupa, akan
nampak jelas bahwa yang dimaksud dengan Bani Qanthura’ dalam hadits ini adakah
bangsa Turk. Hadits-hadits shahih yang menerangkan hal ini, antara lain adalah:
Dari Abu Hurairah
bahwasanya Rasulullah n bersabda,
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ
الْمُسْلِمُونَ التُّرْكَ قَوْمًا وُجُوهُهُمْ كَالْمَجَانِّ الْمُطْرَقَةِ
يَلْبَسُونَ الشَّعَرَ وَيَمْشُونَ فِي الشَّعَرِ
“Kiamat tidak akan
terjadi sehingga kaum muslimin berperang melawan bangsa Turk, yaitu sebuah kaum
yang wajah mereka bagaikan perisai yang berlapis, mereka memakai pakaian yang
terbuat dari bulu, dan memakai alas kaki yang juga terbuat dari bulu.”[5]
Hadits di atas
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bani Qanthura’ adalah bangsa Turk. Imam
al-Bukhari sendiri menempatkan hadits shahih ini dalam bab “Qital al-Turk”,
perang melawan bangsa Turk. Begitu pula imam Ahmad, Abu Daud, Abu Bakr bin
Syaibah, dan para ulama lain menempatkan hadits tentang Bani Qanthura’ di atas
dalam kumpulan hadits yang membahas perang umat Islam melawan bangsa Turk.
Salah seorang perawi dalam riwayat Ahmad, yaitu al-‘Awwam bin Hausyab dengan
tegas menyimpulkan hal ini.
Bangsa Turk yang
dimaksudkan dalam hadits ini, wallahu a’lam bi-shawab, tidak terbatas pada
penduduk sebuah negera yang kini dikenal dengan nama internasional Republik
Turki semata. Sekalipun Republik Turki hari ini adalah sebuah negara sekuler
yang didirikan oleh Musthafa Kamal Al-Yahudi, namun mayoritas penduduknya
adalah kaum muslimin. Padahal hadits-hadits shahih di atas menyebutkan bahwa
bangsa Turk yang memerangi kaum muslimin di akhir zaman adalah orang-orang
kafir.
Dalam menjelaskan
tentang pasukan yang akan menyertai Dajjal, al Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan
bahwa “Menurut lahirnya -wallahu a’lam- yang dimaksud dengan Tark itu adalah
pembantu-pembantu Dajjal.”[6].
Hal ini juga dikuatkan dengan riwayat lain dari Abu Hurairah: “Tidaklah datang
kiamat sehingga kamu memerangi bangsa Khauz dan Kirman dari orang-orang Ajam
yang wajahnya merah, hidungnya pipih (pesek), matanya sipit, wajahnya seperti
tembaga, dan sepatunya beludru.“[7].
Penjelasan di atas menyebutkan bahwa kelak bangsa Turk atau bani Qanthura juga
termasuk yang akan bergabung dengan pasukan Dajjal di akhir zaman. Ini semakin
menguatkan bahwa Bani Qanthura atau bangsa Turk bukanlah penduduk Turki hari
ini yang mayoritas beragama Islam. Bila mereka termasuk pembantu setia Dajjal,
maka kedekatan mereka dengan Yahudi secara ideologi dan kebangsaan juga semakin
meyakinkan.
Jika mereka bukan
penduduk negara yang hari ini dikenal dengan nama Republik Turki ini, lantas
siapa gerangan bangsa Turk yang akan memerangi kaum muslimin di akhir zaman
tersebut ?
Penjelasan yang
lebih benar dan logis adalah pendapat para ulama yang menyatakan bahwa bangsa
Turk adalah sebuah nama bagi bangsa manapun yang memenuhi ciri-ciri yang
digambarkan dalam hadits di atas. Selain wajah lebar-tebal seperti perisai
berlapis, wajah kemerah-merahan, hidung yang pesek, dan mata yang sipit,
hadits-hadits di atas masih menyebutkan dua sifat lain yang bisa menunjukkan
jatidiri bangsa yang dimaksud. Kedua ciri tersebut adalah memakai pakaian yang
terbuat dari bulu dan memakai alas kaki yang juga terbuat dari bulu.
Imam Syamsul Haq
‘Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud menulis bahwa riwayat
imam Muslim dengan lafal ‘mereka memakai pakaian yang terbuat dari bulu, dan
memakai alas kaki yang juga terbuat dari bulu’ secara tegas menunjukkan bahwa
pakaian mereka terbuat dari bulu, demikian pula halnya dengan alas kaki (sandal
dan sepatu) mereka. Sebagaimana dikatakan oleh imam Ibnu Dihyah dan para ulama
yang lain, model pakaian seperti ini disesuaikan dengan iklim lingkungan tempat
mereka tinggal. Mereka tinggal di daerah-daerah yang diselimuti oleh
salju-salju yang sangat tebal.
Selain ciri-ciri fisik dan
geografis sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits-hadits di atas, bangsa
Turk adalah bangsa yang disatukan oleh bahasa induk yang sama, yaitu Bahasa
Altaic. Bahasa Altaic adalah induk bahasa-bahasa yang dipergunakan di kawasan
yang luas di Eurasia, sejak dari Turki di Barat sampai ke Laut Okhotsk di
Timur. Mayoritas pakar bahasa menjelaskan bahwa rumpun bahasa Altaic terdiri
dari tiga kelompok bahasa cabang; bahasa Turki, bahasa Mongolia, dan bahasa
Tungusi. Sebagian pakar bahasa menyebutkan bahwa yang termasuk ke dalam rumpun
bahasa Altaic adalah bahasa Korea, bahasa Jepang, dan adakalanya bahasa Ainu,
bahasa yang digunakan oleh sejumlah kecil masyarakat di Jepang bagian Utara.
Dari penjelasan
ini, tentu tidak lagi mengejutkan kita apabila para ulama menyebutkan bahwa
negeri yang didiami oleh bangsa Turk merupakan sebuah negeri yang sangat luas,
dinisbahkan kepada nama bangsanya, negeri Turkistan. Wilayahnya membentang dari
negeri Khurasan bagian Timur hingga negeri Cina bagian Barat, dan melintang
dari daerah utara India hingga mencapai ujung dunia (kutub utara).[8]
Secara nash syar’i
tidak ada dalil yang shahih yang bisa dijadikan dasar untuk menentukan pendapat
mana yang lebih benar. Pun secara sejarah sulit untuk membuktikan silsilah
nasab sebuah bangsa besar yang telah berkembang, menyebar, dan mendiami sebuah
kawasan bumi yang begitu luas, sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun sebelum
masehi ini. Barangkali karena alasan ini pula, para pakar hadits dan sejarah
sekaliber Ibnu Jarir al-Thabari, Ibnu Atsir al-Jazri, Yaqut al-Yamawi, Ibnu
Katsir al-Dimasyqi, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan lain-lain tidak menyebutkan
pendapat mana yang lebih kuat.
Dari berbagai
hadits shahih yang menyebutkan ciri-ciri fisik dan kondisi geografis negeri
bangsa besar Turk ini, setidaknya para pakar hadits dan sejarah telah bisa
meraba-raba suku bangsa dan negeri mana saja yang tergolong dalam keluarga
besar bangsa dan negeri Turk. Sekali lagi, pendapat mereka adalah berdasar
ijtihad dan hipotesa semata, sehingga kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat
sangatlah terbuka.
Kemenangan yang Sulit
Sepanjang sejarah,
umat Islam telah merasakan pahit getirnya keganasan bangsa Turk. Bangsa Mongol
pernah menyerbu negeri-negeri kaum muslimin di Asia Tengah dan Asia Barat
hingga mencapai Baghdad dan meruntuhkan khilafah ‘Abbasiyah, membunuh penduduk
sipil, membumihanguskan seluruh bangunan, dan meninggalkan negeri-negeri
tersebut bak kota mati yang sunyi, hancur, dan penuh dengan bangkai manusia
yang menyebarkan bau busuk dan wabah penyakit.
Di akhir zaman
bangsa Turk kembali mengincar sebuah negeri penting kaum muslimin yang berada
di tepi sungai Dajlah, bernama Bashrah (baca:Baghdad). Pada masa itu Bashrah
merupakan sebuah negeri umat Islam yang sangat strategis. Rasulullah n sendiri
menjelaskan bahwa Bashrah pada saat itu akan menjadi salah satu negeri tujuan
hijrah kaum muslimin.
يَكْثُرُ أَهْلُهَا وَتَكُونُ مِنْ أَمْصَارِ
الْمُهَاجِرِينَ – قَالَ أَبُو مَعْمَرٍ: وَتَكُونُ مِنْ أَمْصَارِ
الْمُسْلِمِينَ-
Penduduk negeri itu
akan bertambah banyak, dan ia akan menjadi salah satu negeri dari negeri-negeri
kaum muhajirin [atau negeri-negeri kaum muslimin].
Ketika Mereka Terpecah menjadi Tiga Golongan
Saat menghadapi
musuh yang sangat kuat dan melakukan serangan mendadak ini, umat Islam akan
terpecah menjadi tiga golongan:
Pertama, golongan
yang lebih mengutamakan keselamatan nyawa, keluarga, dan harta kekayaannya atas
keselamatan agama. Mereka akan melarikan diri ke pedalaman dengan membawa
seluruh harta kekayaan yang mampu mereka bawa, utamanya hewan ternak. Mereka
justru akan menemui kebinasaan di daerah-daerah pedalaman.
Kedua, golongan
hipokrit-munafik yang membeo kepada pihak yang berada di atas angin. Mereka
adalah golongan yang menjalankan agama dengan perhitungan untung-rugi. Di satu
sisi mereka melihat perjuangan membela Islam dan kaum muslimin akan membawa
resiko bagi nyawa, harta, dan keluarga. Di sisi lain, bergabung dengan barisan
bani Qanthura’ merupakan jalan pintas untuk meraih keselematan dan keuntungan.
Mereka pun akhirnya menanggalkan keislaman mereka, memilih kekafiran, meminta
jaminan keamanan kepada musuh, dan bergabung dalam barisannya.
Ketiga, golongan
pejuang yang rela mempersembahkan harta dan nyawa mereka demi tegaknya panji
Islam dan selamatnya anak keturunan kaum muslimin. Kedatangan musuh yang sangat
tiba-tiba dengan kekuatan dahsyatnya, plus kabur dan murtadnya dua pertiga umat
Islam tidak menyiutkan nyali mereka. Justru mereka meyakininya sebagai
kebenaran janji Allah dan Rasul-Nya.
Mereka menempatkan
seluruh anak-istri di belakang punggung mereka. Mereka bertempur dengan gigih
berani, menahan laju gempuran pasukan bani Qanthura’. Di antara mereka akan
banyak yang gugur sebagai syuhada’. Dengan izin Allah kaum muslimin yang
tersisa akan mampu meraih kemenangan dan menghancurkan musuh.[9]
Bilakah Hal Itu Terjadi?
Imam Ali Mula
al-Qari berpendapat bahwa peristiwa penyerbuan bani Qanthura’ ke Bashrah ini
sudah terjadi pada bulan Shafar tahun 656 H. Untuk bisa menentukan kebenaran
atau kesalahan pendapat ini, kita perlu melihat terlebih dahulu kronologi
penyerbuan tentara Mongol ke kota Baghdad tahun 656 H. Setelah itu barulah kita
bisa membandingkannya dengan hadits-hadits tentang bani Qanthura’.
[1]. HR. Abu Daud: Kitab
al-malahim bab fi al-Bashrah no. 3752, Ahmad, Musadad, Abu Daud al-Thayalisi,
dan Ibnu Hiban. Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini hasan dan sanadnya baik
dalam Shahih Sunan Abi Daud, Misykat al-Mashabih: Kitab al-fitan no. 5432, dan
Shahih al-Jami’ al-Shaghir no. 8107.
[2]. HR. Ahmad,
Abu Daud al-Thayalisi, Ahmad bin Mani’, dan Abu Bakr bin Syaibah Al-hafizh
al-Bushairi dalam Ittihaf al-Khairah al-Maharah bi-Zawaid al-Masanid al-‘Asyrah
menyatakan para perawinya tsiqah.
[3]. Kota Baghdad dibangun oleh
khalifah kedua dari dinasti Abbasiyah, yaitu amirul mukminin Abu Ja’far
al-Manshur pada tahun 146 H/763 M.
[4]. ‘Aunul Mabud Syarh Sunan Abi
Daud juz 9 h.. 344. Imam Ali Mula al-Qari juga memberikan penjelasan yang
serupa dengan penjelasan imam al-Asyraf. Imam Syamsul Haq ‘Azhim Abadi mengutip
penjelasan kedua ulama ini tanpa memberikan sanggahan. Wallahu a’lam, mungkin ini
menunjukkan persetujuan beliau atas penjelasan kedua ulama ini.
[5]. HR. Bukhari: Kitab al-jihad
wa al-siyar no. 2711, Muslim: Kitab al-fitan wa asyrath al-sa’ah no. 2912, dan
Abu Daud: Kitab al-malahim no. 3749, dengan lafal Muslim.
[6] An-Nihayah
Fil Fitan wal Malahim 1: 117
[7] Shahih
Bukhari, Kitab Al-Manaqib, Bab ‘Alamatin Nubuwwah Fil Islam 6: 604
[8]. Lihat Fath al-Bari Syarh
Shahih al-Bukhari, 10/393 dan Mu’jam al-Buldan 1/409-410.
[9]. Perpecahan umat Islam Bashrah
menjadi tiga kelompok saat menghadapi serangan bani Qanthura’ di akhir zaman
ini, juga digambarkan oleh Ibnu Taimiyah saat menerangkan kondisi kaum muslimin
di Syam saat mendengar berita penyerbuan tentara Mongol ke Damaskus tahun 702
H.
Dalam Majmu’ Fatawa, 28/416-417, beliau menuturkan, “Dalam menghadapi fitnah
(penyerangan tentara Mongol) ini, masyarakat terpecah menjadi tiga golongan: Ath-Thaifah
Al-Manshurah (kelompok yang mendapatkan kemenangan) yaitu kelompok yang
berjihad melawan para penyerang yang berbuat kerusakan, Ath-Thaifah
Al-Mukhalifah (kelompok musuh) yaitu kaum agresor dan ‘sampah-sampah’ kaum
muslimin yang bergabung ke dalam barisan mereka, dan Ath-Thaifah
Al-Mukhadzilah (kelompok yang melemahkan semangat) yaitu umat Islam yang
hanya berpangku tangan dan enggan berjuang melawan musuh, sekalipun ke-Islaman
mereka benar (tidak murtad dengan memihak musuh)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan